BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepiting bakau (scylla sp) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang hidup di perairan pantai, khususnya di hutan-hutan bakau
(mangrove). Dengan sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh
kawasan pantai nusantara, maka tidak heran jika indonesia dikenal sebagai
pengeskpor kepiting yang cukup besar dibandingkan dengan negara-negara produsen
kepiting lainnya. potensi kepiting di Indonesia yang
sangat memungkinkan. Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan
terbesar di dunia dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta kilometer persegi
atau 75% dari total wilayah Indonesia (Irmawati. 2005).
Wilayah laut tersebut di taburi lebih dari
17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan
terpanjang didunia setelah kanada. Di sepanjang pantai tersebut kurang lebih
1,2 juta Ha memiliki potensi sebagai lahan tambak, yang digunakan untuk
mengelola tambak udang baru 300.000 Ha, sisanya masih belum dikelola. Maka dari
itu peluang untuk membangun budidaya kepiting masih terbuka lebar. Dan salah
satu daerah yang memiliki potensi tersebut adalah Kalimantan Barat (Rosmaniar, 2008).
Kepiting sangat banyak diminati oleh
masyarakat dikarenakan daging kepiting tidak hanya lezat tetapi juga
menyehatkan karena banyak mengandung nutrisi yang penting bagi kehidupan dan
kesehatan. Selain itu juga kepiting juga memiliki ekonomis tinggi, salah
satunya adalah kepiting bakau (scylla sp).
Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan
salah satu komoditas perikanan yang hidup diperairan payau, khususnya di
hutan-hutan mangrove. Dengan sumber daya mangrove yang membentang luas
diseluruh kawasan pantai nusantara, maka tidak heran Indonesia dikenal sebagai
pengekspor keping yang cukup besar.
Kepiting bakau mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi, baik dipasar domestik maupun mancanegara. Dikarenakan
nilai ekonomis kepiting yang terus meningkat, banyak para petani membudidayakan
kepiting ditambak. Tetapi sayangnya prospek bisnis yang menjanjikan ini belum
mendapakan perhatian untuk pembudidaya yang ada di Kalimantan Barat. Karena
kepiting merupakan nilai ekonomis penting yang menjanjikan dan belum
mendapatkan perhatian bagi pembudidaya.
1.2 Tujuan penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah adalah untuk mempelajari tengtang molusca
kepiting bakau agar kedepan bias lebi memahami bagamana selukbeluk tentang
kepiting bakau baik segi morfoliki, kelasifikasi, habitan dan repoduksi dari
kepiting bakau itu sendiri.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari
penulisan makalah adalah untuk memberikan informasi tengtang molusca keeping
bakau sehing dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca sekalian
atau yang memerlukannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Habitat
Menurut Ghufron (1997)
dalam pertumbuhannya semua jenis kepiting sering berganti kulit (moulting).
Habitat kepiting tergantung dari daur hidupnya, dalam menjalani hidupnya
kepiting beruaya dari perairan pantai keperairan laut, kemudian induk dan
anak-anaknya kembali keperairan pantai, muara-muara sungai atau hutan bakau.
Kepiting yang siap melakukan perkawinan akan masuk keperairan hutan bakau atau
tambak. Setelah melakukan perkawinan itu, kepiting betina perlahan-lahan
meninggalkan pantai ketengah laut untuk berpijah. Setelah telur menetas maka
muncul larva tingkat 1 (Zoea 1) dan terus-menerus berganti kulit sambil terbawa
arus ke perairan pantai.
Kanna (1991) bahwa kepiting muda yang baru berganti kulit
dari megalopa yang memasuki muara sungai dapat mentoleransi salinitas air yang
rendah (10-24 ppt) dan suhu diatas 10oC.
Menurut Ghufron (1997) mengatakan penyebaran kepiting cukup
luas mulai dari Selatan dan Timu Afrika, Mozambi, terus ke Iran, pakistan,
India, Srilanka, Bangladesh, Negara ASEAN, Cina, Vietnam, Kamboja, Jepang,
Taiwan, Lautan Pasifik, Hawai, Selandia Baru dan Australia Selatan.
2.1
Morfologi
Kepiting bakau (Scylla sp) memiliki ukuran lebar karapas
lebih besar dari pada ukuran panjang tubuhnya dan permukaannya agak licin. Pada
dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan serta
kirinya terdapat sembilan buah duri. Kepitng bakau jantan mempunyai sepasang
capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat daripada panjang
karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek. Selain itu,
kepiting baku juga memiliki 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang.
Kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdoment bagian bawah
berbentuk segitiga meruncin, sedangkan pada betina kepiting bakau melebar (Soim
1994).
2.3
Organ organ dalam
Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam,
mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian
yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan dan juga
memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras
sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih
banyak menggunakan sapit dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh
dihancurkan dengan menggunakan sapit, kemudian baru dimakan (Shimek, 2008).
2.4
Ciri cirri
Deskripsi kepiting bakau menurut
Rosmaniar (2008), Famili portumudae merupakan famili kepiting bakau yang
mempunyai lima pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk pipi dan melebar
pada ruas terakhir.
Karapas pipi
atau cagak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran bulat
telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tapi anterolateral bergigi lima
sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra
orbital, bergigi dua sampai enam buah, bersungut kecil terletak melintang atau
menyerong. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung. Terutama
ruas terakhir, dan mempunyai tiga pasang kaki jalan.
Kepiting bakau Scylla serrta memiliki
bentuk morfologi yang bergerigi, serta memiliki karapas dengan empat gigi depan
tumpul dan setiap margin anterolateral memiliki sembilan gigi yang berukuran
sama. Kepiting bakau memiliki capid yang kuat dan terdapat beberapa duri (Motoh
1979 dan Perry 2007).
2.6
Nilai Ekonomis
Kepiting bakau merupakan salah satu sumber hayati perairan
bernilai ekonomis tinggi. Jenis kepiting ini telah dikenal baik dipasaran dalam
negeri maupun luar negeri karena rasa dagingnya yang leza dan bernilai gizi
yang tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting.
Di Indonesia terdapat 4 jenis kepiting bakau yaitu Scylla
serrata, S. Tranquebarica, S.paramamosain dan S.olivacea. Keempat jenis
kepiting bakau tersebut sangat potensial untuk dibudidayakan. Dengan ini kmi
sebagai agen kepiting dalam masa sekarang sedang mencoba untuk membudidayakan kepiting
bakau ini, karena mengharapkan tangkapan nelayan tidak dapat mencukupi pesanan
costumer diberbagai wilayah di Indonesia.
2.7
Cara Makan
Kanna (1991) mengemukakan bahwa pakan yang
diberikan untuk kepiting berupa potongan-potongan daging ikan, cumi-cumi,
maupun daging udang, dan ukuran pakan juga disesuaikan dengan kemampuan
kepiting untuk mencengkram pakan. Kepiting tergolong pemakan segala (omnivora)
dan pemakan bangkai (scavenger). Sedangkan larva kepiting memakan plankton.
Kepiting tergolong hewan nocturnal, pada saat siang hari keping cendrung
membenamkan diri atau bersembunyi didalam lumpur.
2.8 Reporodusi
Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya
saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina.
Kepiting betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi
sang betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga
beberapa bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada
tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini
akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).
Jumlah telur yang dibawa tergantung
pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan
telur ketika terjadi pemijahan. Telur
ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru)
yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk
menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas
dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting
beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar
perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kepiting
bakau (scylla sp) merupakan salah satu komoditas perikanan yang hidup di
perairan pantai, khususnya di hutan-hutan bakau (mangrove).
Berdasarkan
anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian
bawah tubuh.
Deskripsi kepiting bakau menurut
Rosmaniar (2008), Famili portumudae merupakan famili kepiting bakau yang
mempunyai lima pasang kaki. Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting.
Beberapa spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi
pemijahan. Telur ini akan
menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang
dikenal dengan “zoea”.
3.2 saran
Penulis
merasa dalam penyajian makalah ini masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan
maka dari itu sudi kiranya teman-teman memberikan kritikan/saran, yang nantinya
akan berguna untuk memperbaiki hasil makalah ini dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau
Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 15 November 2012).
Juwana, S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan
Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan lapangan, Prosiding Simposium
Interaksi Daratan dan Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.
Purwaningsi S, DKK. 2005. Pengaruh Lama Pentimpanan
Daging Rajungan Dan Keping Rebus Pada Suhu Kamar. Buletin Teknologi Hasil
Perikanan. Vol VIII Nomor 1 Tahun 2005
Ghufron,
Kardi. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng. Dahara Prize. Semarang.
Kanna,
Iskandar. 1991.Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta
Surahman,
Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Tarsito :
Bandung.
Soim,
Ahmad. 1994. Pembesaran Kepiting. Swadaya. Jakarta.
Silahkan Tulis Komentar Anda ...