Posts Subscribe comment Comments

naskah akademik mengenai rancangan undang-undang tentang lembaga keuangan mikro


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sektor keuangan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional dan ekonomi masyarakat. Kegiatan sektor keuangan hampir seluruhnya bersifat jasa (keuangan), baik jasa perbankan maupun jasa non-perbankan. Perkembangan dan kemajuan pada sektor keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan menuntut adanya perbaikan yang terus-menerus, baik dari aspek kelembagaan organisasi, regulasi (kebijakan), maupun sumber daya manusia (SDM).
Peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor keuangan sampai saat ini masih dibutuhkan. Namun, partisipasi masyarakat khususnya pihak swasta sangat diharapkan untuk mendorong perkembangan dan kemajuan di sektor keuangan di Indonesia, termasuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan perbankan maupun non-perbankan. Pemerintah harus terus mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam kegiatan di sektor keuangan.
Diakui bahwa perbankan sebagai lembaga keuangan sampai saat ini telah menunjukkan suatu kemajuan yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan ekonomi daerah yang terbukti dari pesatnya pertumbuhan lembaga perbankan (bank) di berbagai daerah di Indonesia, baik di kota maupun di kabupaten. Oleh karena itu adalah wajar apabila sektor perbankan menjadi sangat dominan dalam kegiatan usaha jasa keuangan di Indonesia sampai saat ini.
Keadaan perbankan di Indonesia tidak jauh berbeda dari perbankan di banyak negara di dunia, yaitu belum begitu banyak yang melayani kebutuhan kredit atau dana pinjaman pengusaha-pengusaha skala kecil dan skala mikro. Bank-bank di Indonesia, baik milik Pemerintah (Bank BUMN) maupun bank swasta nasional apalagi bank swasta asing, pada umumnya tidaklah dimaksudkan untuk melayani perusahaan-perusahaan kecil khususnya perusahaan mikro. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program-program pendidikan, manajemen, sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanan, serta falsafah perusahaan perbankan lebih diarahkan untuk melayani orang-orang yang sudah mapan dan berada (perusahaan besar dan menengah). Dengan demikian dapat diduga bahwa perbankan di Indonesia belum berperan dalam pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan bagi pengusaha kecil dan mikro.
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada usaha kearah pemerataan pendapatan bagi pengusaha kecil dan mikro di atas. Bank Sentral (Bank Indonesia) telah merintis kearah itu melalui berbagai kredit program, seperti Kredit Bimas, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Keppres 14A, KIK/KMKP sampai dengan Rp. 75 juta, Kredit Keppres 29, Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Kredit Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI), Kredit Pencetakan Sawah, Kredit Profesi Guru (KPG), Kredit Mahasiswa (KMI), Kredit Asrama Mahasiswa, Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dan lain-lain. Kredit-kredit program yang tidak mementingkan jaminan dalam pemberian kredit tersebut disalurkan.
Selain sektor perbankan, penyelenggaraan jasa keuangan juga dilakukan oleh lembaga keuangan lain yang bukan bank, seperti lembaga pembiayaan (leasing), koperasi, pegadaian, dan perusahaan asuransi. Peran lembaga keuangan bukan bank tersebut--dalam perkembangannya--belum optimal dan belum maksimal dalam mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang sebagian besar merupakan pengusaha kecil dan mikro. Padahal lembaga keuangan bukan bank tersebut sudah diatur secara jelas dalam bentuk undang-undang.
Berangkat dari kenyataan dan perkembangan di dalam masyarakat saat ini, maka pembentukan satu lembaga keuangan yang menyediakan dana atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala kecil sangatlah penting dan urgent. Lembaga keuangan skala mikro ini memang hanya difokuskan kepada usaha-usaha masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan yang bersifat mikro. Sebenarnya di daerah pedesaan sudah ada suatu lembaga keuangan yang berskala mikro, seperti badan kredit desa (BKD), unit simpan-pinjam, lembaga kredit pedesaan. Berbeda dengan lembaga koperasi yang sudah ada di perkotaan dan di pedesaan, seperti KUD (Koperasi Unit Desa).
Badan Kredit Desa dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah berdirinya Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Diawali dengan berdirinya Lumbung Desa (LD) pada tahun 1897 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat. Lumbung Desa dan Bank Desa kemudian dikenal dengan nama Badan Kredit Desa (BKD), yang merupakan cikal bakal berdirinya Lembaga Perkreditan Kecil di Pedesaan atau sekarang lebih dikenal dengan istilah Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga ini banyak digunakan sebagai bahan studi banding oleh negara lain dalam mengembangkan keuangan mikro di negara masing-masing.
Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit Desa) sampai saat ini masih melaksanakan tugas sebagai pendamping atau sebagai pembina dan pengawas BKD, mulai dari bagaimana cara menilai calon peminjam, jenis cicilan pinjaman yang cocok untuk calon anggota, besarnya pinjaman anggota, mengadministrasikan usaha simpan pinjam, pengelolaan uang Kas, memberikan bantuan modal kerja, mengatur cara penggajian para Juru Tata Usaha (JTU) dan Komisi BKD, mendidik JTU dan Komisi BKD dan sebagainya. Semua kegiatan pendampingan tersebut di atas dimaksudkan agar BKD mampu membiayai sendiri usahanya, dapat memupuk permodalan dan dapat membantu masyarakat pedesaan anggota BKD dalam meningkatkan usahanya maupun meningkatkan penghasilannya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di pedesaan.[1]
Melihat keberhasillan BKD inilah, kemudian disusul berdirinya LKM lainnya baik yang didirikan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Kelompok Masyarakat di pedesaan, seperti Lumbung Pitih Nagari di Sumatera, Lembaga Perkreditan Desa di Bali, Bank Pasar, Koperasi Simpan Pinjam, dan sebagainya. Per Oktober 2002 terdapat 4.518 Bank Kredit Desa yang tersebar di berbagai pelosok desa di Jawa-Madura serta melayani sekitar 700.000 orang. Syarat dan prosedur pelayanan di BKD relatif mudah dan cepat. Nasabah BKD adalah perorangan yang berdomisili di desa bersangkutan. Rata-rata besar pinjaman biasanya dibawah Rp. 700.000. Jumlah angsuran umumnya adalah mingguan.[2]
Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan, khususnya bank umum. Tetapi pengaturan dari aspek hukumnya belumlah jelas. Berbeda dengan pengaturan lembaga perbankan melalui UU Perbankan,  lembaga koperasi melalui UU Perkoperasian, dan lembaga asuransi melalui UU Perasuransian.
           
B.    Identifikasi Masalah
Perkembangan lembaga keuangan mikro di Indonesia umumnya didahului oleh pendirian bank yang khusus ditujukan untuk rakyat kecil yang disebut dengan Bank Priyayi atau Bank Pegawai (1875). Bank rakyat ini kemudian mengidentikkan dirinya menjadi sebuah ‘bank perkreditan rakyat’. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, perkembangan lembaga perbankan yang berorientasi pada usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) lebih banyak diperankan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit Desa).
Yang menjadi persoalan selama ini adalah tidak semua usaha kecil, usaha koperasi dan usaha mikro yang mendapat fasilitas dana pinjaman atau kredit usaha dari BRI Unit Desa tersebut. Sampai saat inipun, BRI Unit Desa masih membantu sebagian usaha kecil, koperasi dan usaha mikro di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sistem dan manajemen yang diterapkan oleh BRI Unit Desa adalah berdasarkan sistem dan menejemen perbankan yang tunduk pada undang-undang perbankan dan peraturan Bank Indonesia (BI). Demikian juga dengan berdirinya BPR di berbagai daerah belum menyentuh seluruh usaha kecil, koperasi dan usaha mikro. Akses usaha kecil, koperasi dan usaha mikro terhadap lembaga perbankan, termasuk BRI Unit Desa dan BPR masih belum maksimal, karena BRI Unit Desa dan BPR adalah sama-sama lembaga perbankan yang menerapkan sistem dan manajemen bank yang cenderung menyulitkan usaha kecil, koperasi dan usaha mikro untuk berkembang, seperti dengan keharusan menyerahkan agunan untuk mendapatkan kredit.
Lahirnya Badan Kredit Desa (1897) merupakan cikal bakal dan menjadi sejarah lahirnya lembaga keuangan mikro yang berorientasi membantu masyarakat kecil dan miskin di daerah pedesaan. Badan ini dapat dikatakan bukan berbentuk bank dan bukan berbentuk koperasi. Keberadaan LKM menjadi sangat urgent karena belum termasuk dalam ketiga kelompok lembaga keuangan tersebut di atas (perbankan, koperasi dan asuransi). Tetapi yang menjadi perhatian ke depan adalah bahwa setiap usaha penghimpunan dana dari masyararakat, termasuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah harus dapat memberikan jaminan atas keamanan (perlindungan) terhadap dana simpanan tersebut. Bentuk perlindungan dimaksud haruslah dijamin dalam suatu peraturan hukum sehingga akan memberikan kepastian hukum apabila terjadi suatu perselisihan yang menyangkut dana simpanan dan dana pembiayaan usaha masyarakat.
Untuk memberdayakan LKM ke depan diperlukan langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengawasi dan membina LKM guna meningkatkan kemampuan LKM dalam melayani masyarakat miskin dan pelaku usaha kecil dan mikro. Langkah yang harus ditempuh pemerintah antara lain adalah:
Pertama, memperkuat kelembagaan LKM. Pemerintah hendaknya memiliki ’blue print’ LKM sebagai desain yang terstruktur untuk mengembangkan dan memperkuat LKM. Pemerintah juga harus memberikan pelatihan manajemen kepada para pengelola LKM. LKM kedepannya harus diarahkan sebagai lembaga keuangan khusus bagi rakyat kecil di pedesaan. LKM yang telah kuat akan bisa mengandalkan penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas individual. Karena itu pemerintah harus membuat kebijakan yang memberikan rasa aman bagi masyarakat yang ingin menaruh dananya di LKM.
Kedua, pemerintah juga sudah harus mempersiapkan instansi/lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah yang secara khusus membina dan mengawasi kegiatan operasional LKM di Indonesia, agar tumbuh sehat dan normal.
Ketiga, fokus pengembangan usaha kecil dan mikro di daerah pedesaan. LKM adalah lembaga yang mempunyai peran besar dalam menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil dan mikro di tingkat desa dan kecamatan. LKM harus fokus membantu masyarakat kecil dan miskin di pedesaan untuk meningkatkan produktivitasnya yang pada akhirnya dapat membantu pemerintah mengurangi kemiskinan, khususnya di daerah pedesaan.
Dari penjelasan dan uraian di atas, ada beberapa permasalahan pokok yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan lembaga keuangan mikro, antara lain:
1.     LKM harus memiliki suatu bentuk hukum yang jelas, sehingga akan menjamin adanya accountability dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
2.     LKM harus memiliki ijin usaha atau ijin operasional dari lembaga atau instansi pemerintah (pemda) yang berwenang untuk itu.
3.     Lembaga/instansi pemerintah (pemda) pemberi ijin usaha atau ijin operasional LKM harus membina dan mengawasi kegiatan LKM, agar LKM dapat tumbuh sehat dan wajar.
4.     LKM sebaiknya tidak memiliki cabang perusahaan dan tidak boleh memiliki diversifikasi usaha selain usaha jasa keuangan. Tujuannya adalah agar LKM lebih fokus dalam kegiatan usaha jasa keuangan mikro bagi masyarakat di pedesaan.
5.     Sistem manajemen usaha LKM tidak boleh menyerupai sistem manajemen usaha di lembaga perbankan. Tujuannya agar LKM dapat berdiri dan berkembang dengan karakteristik sendiri yang berbeda dengan bank, sebab LKM bukanlah bank perkreditan rakyat.
6.     Perlu adanya suatu sistem pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membantu kepada masyarakat yang memperoleh pinjaman/pembiayaan dari LKM untuk meningkatkan usahanya.
7.     Perlu ada suatu kepastian mengenai batasan jumlah modal (aset) usaha LKM pada saat pendiriannya. Hal ini penting untuk menjelaskan posisi LKM diantara lembaga keuangan yang ada saat ini.
8.     Perlu ada kepastian mengenai batasan jumlah dana simpanan yang dapat dihimpun oleh LKM dari masyarakat.
9.     Perlu ada kepastian mengenai jumlah maksimum dana pembiayaan usaha yang diberikan/disalurkan oleh LKM.
10.  Perlu ada kepastian mengenai area wilayah operasional LKM, dan cakupan kegiatan usaha dari LKM tersebut, yaitu hanya bidang jasa keuangan yang berskala mikro/kecil.

C.    Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari pembuatan atau penyusunan naskah akademik mengenai rancangan undang-undang tentang lembaga keuangan mikro ini, antara lain adalah:
1.     sebagai dasar pemikiran yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis untuk pembuatan suatu peraturan hukum mengenai lembaga keuangan mikro.
2.     sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan, khususnya Anggota DPR RI dalam proses pembuatan undang-undang mengenai lembaga keuangan mikro.
3.     sebagai bahan informasi untuk melakukan studi lebih lanjut yang berkaitan dengan lembaga keuangan mikro.
4.     sebagai bahan referensi bagi publik atau pihak yang membutuhkan suatu kajian akademik mengenai lembaga keuangan mikro.

D.    Metode Pendekatan
Dalam penyusunan naskah akademik mengenai rancangan undang-undang tentang lembaga keuangan mikro, metode pendekatan yang dipergunakan adalah metode pendekatan yang bersifat analisis-historis dan empiris. Yang dimaksud dengan metode analisis-historis (historical approach) adalah menganalisa berbagai fakta yang telah terjadi/ada di dalam suatu masyarakat atau bangsa/negara berdasarkan fakta atau bukti sejarah (historis) yang ada dalam masyarakat atau bangsa/negara yang bersangkutan.
Sedangkan metode pendekatan empiris (empirical approach), yaitu didasarkan pada observasi atau pengamatan dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi dan tidak menduga-duga. Metode ini umumnya dilakukan dengan menggunakan data atau pengalaman yang bersifat empiris. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman (experience).[3]
Arti dari kata empirical, dapat dijelaskan di bawah ini:
the word empirical denotes information gained by means of observation, experience, or experiment. A central concept in science and the scientific method is that all evidence must be empirical, or empirically based, that is, dependent on evidence or consequences that are observable by the senses.[4]
Metode pendekatan empiris adalah metode analisis atau pendekatan dengan berdasarkan hasil observasi atau pengalaman yang diperoleh sebelumnya. Dalam menjelaskan mengenai lembaga keuangan mikro di Indonesia, bahwa pengalaman masyarakat telah menunjukkan relatif banyaknya lembaga keuangan yang berskala mikro yang beroperasi di Indonesia sampai saat ini, khususnya di daerah pedesaan/kecamatan. Hal ini diperkuat dengan fakta di masyarakat tentang keberadaan lembaga keuangan mikro yang masih eksis, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN

A.   Filosofis
Secara filosofis pembentukan LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan LKM, pada prinsipnya ditujukan sebagai upaya untuk memberikan dorongan pembiayaan bagi usaha mikro.
Semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, pada prinsipnya ingin menjadikan LKM sebagai lembaga pembiayaan terhadap Usaha Mikro yang merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, LKM ini pun diharapkan berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.

B.   Sosiologis
Sejarah LKM di Indonesia dimulai dari pendirian “Bank Priyayi Purwokerto” oleh Raden Wiriaatmadja pada tahun 1895. Satu tahun kemudian didirikan didirikan “Poerwokertosche Hulp-Spaar en Landbouwcredietbank” oleh kepala pemerintahan Belanda pada saat itu, Sieburgh dan rekannya De Wolff van Westerrode. LKM tersebut lebih dikenal sebagai Lumbung Desa, yang fungsinya adalah untuk membantu para petani yang mengalami kegagalan panen.
Pada tahun 1905 mulai didirikan Bank Desa dengan modal dari Lumbung Desa dengan tujuan untuk membantu permodalan masyarakat pedesaan agar tidak terjerat para lintah darat (rentenir) dan para pengijon. Lumbung Desa dan Bank Desa kemudian berubah nama dengan Bank Kredit Desa (BKD). Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Pusat mengeluarkan buku pedoman untuk mendirikan, mengatur dan mengurus serta mengawasi BKD, dan terakhir Ordonansi BKD termuat dalam Staatsblad No. 357 tahun 1929 untuk daerah Jawa dan Madura, Rijksblad No. 9 tahun 1937 untuk daerah Kadipaten Paku Alaman, dan Rijksblad No. 3/H tahun 1938 untuk daerah Kasultanan. Pada tahun 1972, 1973 dan 1974 Menteri Keuangan memberikan izin usaha bagi BKD.
Keberhasilan BKD disusul dengan pendirian Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah sejak awal tahun 1970an yang dimulai dari pembentukan Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, hingga pada akhir tahun 1980an Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur. Pada awal tahun 1984 Menteri Dalam Negeri mendesiminasikan model LDKP yang ada saat itu kepada beberapa gubernur, hasilnya di Bali terbentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Lembaga Pembiayaan Usaha Kecil (LPUK) di Kalimantan Selatan, BKK di Bengkulu, dan di Riau, Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat, Badan Usrusan Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, serta Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh.
LPD dan LPN dimiliki oleh masyarakat desa, dan beroperasi berdasarkan hukum adat yang berlaku. Sedangkan LDKP lainnya dimiliki, diatur dan diawasi oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian Pemerintah Daerah banyak yang mendelegasikan kepada Bank Permerintah Daerah (BPD) untuk melakukan supervisi dan bantuan teknis terhadap kepada LDKP.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BKD dan LDKP serta lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib menyesuaikan diri menjadi BPR. Selanjutnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992, lembaga-lembaga tersebut harus mengajukan izin usaha sebagai BPR sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahu 1992 selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997. Namun hingga batas waktu tersebut, masih banyak BKD dan LDKP yang masih belum memenuhi sebagai BPR. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dalam rangka Pengukuhan LDKP menjadi BPR antara Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri, Direktur Bank Indonesia, dan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan, dinyatakan bahwa LKDP yang tidak mengajukan permohonan izin usaha setelah tanggal 30 Oktober 1997 dan LDKP yang telah mengajukan permohonan izin usaha tetapi tidak memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan, tetap dapat meneruskan usahanya sebagai LDKP, dan dalam status ini dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan. (Nasution, 2003).
Sebagai alternatif layanan keuangan mikro dengan prinsip syariah, awal tahun 1990an lahirlah Gerakan BMT yang dipelopori oleh Yayasan PINBUK. Pada awalnya ruang lingkup BMT mencakup penerimaan zakat, infaq dan shadaqoh, serta menyalurkannya kepada orang yang berhak. Dalam perkembangannya, pada tahun 1995 BMT dijadikan gerakan nasional dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pertumbuhan BMT yang sangat pesat, hingga akhir tahun 2000 jumlahnya sekitar 2.938 unit. Dikarenakan pada akhirnya sebagian besar kegiatan BMT banyak bergerak di bidang simpan pinjam dengan prinsip syariah, maka sebagian BMT memiliki izin pendirian Koperasi. Melihat jumlah BMT yang semakin besar dan memiliki perkembangan yang baik, maka untuk menertibkan dan malakukan pembinaan pada tahun 2005 Pemerintah, melalui Menteri Koperasi & UKM mengeluarkan Keputusan Menteri tentang Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Namun hingga kini tidak semua BMT mengikuti keputusan menteri tersebut.
Selain BMT, pada awal tahun 1970an mulai didirikan LKM yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri, yaitu Credit Union, yang kemudian pada tahun 1980an diubah namanya menjadi Koperasi Kredit (Kopdit). Walaupun memiliki nama Koperasi Kredit, namun tidak semua Kopdit, yang pada akhir 1999 berjumlah lebih dari 1.100 unit, memiliki izin pendirian koperasi. Selain BMT, dan Kopdit, sesungguhnya masih ada lagi LKM yang merupakan hasil inisiatif masyarakat, seperti Dakabalarea di Jawa Barat, serta LSM dan KSM lainnya yang didirikan untuk memberikan pelayanan keuangan mikro.
Berbagai program pemberdayaan masyarakat yang banyak dilakukan oleh departemen-departemen teknis, juga menghasilkan LKM baru yang memiliki tujuan khusus. Misal, Unit Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP) yang dibentuk untuk mendukung program pembangunan desa melalui Inpres Bantuan Pembangunan Desa dengan Departemen Dalam Negeri sebagai departemen teknisnya. Jumlah UED-SP hingga pada akhir 1999 kurang lebih mencapai sekitar 52 ribu.
Selain itu, Departemen Dalam Negeri masih memiliki P2K (bekerjasama dengan Departemen Pekerjaam Umum), KUBE (bekerjasama dengan Departemen Sosial), sedangkan Departemen Pekerjaan Umum sendiri memiliki Badan Keswadayaan Masyarakat (KSM), BKKBN memiliki UPPKS, Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki LEPM3, Departemen Pertanian memiliki P4K, dan sebagainya. Hampir seluruh LKM ini, yang didirikan berdasarkan keputusan menteri terkait, melakukan kegiatan usaha utamanya dalam bentuk simpan pinjam.
Selanjutnya terkait hasil studi dan pengalaman dari 31 lembaga agen bantuan pembangunan, baik yang dimiliki swasta maupun pemerintah dari negara-negara maju, yang tergabung kedalam Consultative Group to Assist the Poor (CGAP), menetapkan 11 prinsip keuangan mikro untuk memperluas akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan. Kesebelas prinsip adalah sebagai berikut:
1.     Masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah tidak hanya membutuhkan pinjaman saja, tetapi juga membutuhkan jasa keuangan lainnya, seperti jasa simpanan/tabungan, asuransi, anjak piutang, sewa guna, dan jasa pengiriman uang.
2.     Keuangan mikro merupakan alat yang sangat tepat untuk memerangi kemiskinan, karena masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya menggunakan jasa keuangan untuk meningkatkan pendapatannya, menambah asetnya, dan untuk berjaga-jaga (melindungi diri) apabila terjadi suatu kejadian tak terduga, seperti bencana alam, gagal panen, dan sebagainya.
3.     Keuangan mikro akan jauh lebih bermanfaat secara optimal apabila terintegrasi dengan sistem keuangan nasional.
4.     Keuangan mikro harus dapat menghidupi diri sendiri, agar dapat menjangkau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah lebih banyak lagi. Apabila lembaga keuangan mikro tidak mampu menghidupi sendiri (minimal mampu menutupi seluruh biaya), maka keberadaan mereka akan sangat terhambat, dan akan sangat tergantung dari bantuan pemerintah atau donor yang juga sangat terbatas.
5.     Keuangan mikro mampu membangun lembaga keuangan lokal yang berkelanjutan, dimana lembaga tersebut dapat menghimpun dana dari masyarakat suatu wilayah tertentu dan diputarkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat di wilayah yang sama. Dalam konteks Indonesia, hal ini juga akan mengurangi pelarian uang dari daerah ke pusat, atau dari desa ke kota seperti yang terjadi selama ini. Selain itu, prinsip ini juga sejalan dengan semangat membangun daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
6.     Keuangan mikro bukanlah segalanya dalam mengatasi kemiskinan, oleh karenanya dukungan program lainnya juga diperlukan, khususnya program yang ditujukan kepada masyarakat yang sangat miskin yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar kembali pinjamannya.
7.     Pembatasan ambang atas terhadap tingkat suku bunga justru akan menyulitkan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh pinjaman dalam jangka panjang. Apabila ambang atas tingkat suku bunga dibatasi yang menyebabkan tidak tertutupinya seluruh biaya, maka lembaga keuangan mikro itu akan punah cepat atau lambat. Ketika lembaga keuangan mikro banyak yang punah, maka masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah akan kembali mengalami kesulitan dalam mengakses pinjaman.
8.     Peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terselenggaranya layanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, dan bukan bertindak sendiri lembaga keuangan yang menyediakan jasanya secara langsung. Dari berbagai pengalaman menyatakan bahwa tidak pernah ada pemerintah yang berhasil mengelola pinjaman. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah cukup membuat kebijakan yang mendukung iklim usaha.
9.     Dana dari donor seharusnya hanya dijadikan pelengkap saja, bukan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan modal usaha lembaga keuangan mikro. Dana dari donor sebaiknya diberikan untuk membantu sementara pada tahapan start-up sampai pada titik tertentu, dan ditempatkan dalam bentuk simpanan (bukan modal).
10.  Pertumbuhan dan perkembangan keuangan mikro terhambat pada kapasitas kelembagaan dan kurangnya tenaga profesional. Oleh karena itu, lembaga donor seharusnya fokus untuk mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.
11.  Keuangan mikro akan dapat bekerja baik apabila kinerjanya terukur dan terbuka bagi masyarakat. Lembaga keuangan mikro perlu membuat laporan kinerja keuangan yang akurat dan mudah dibandingkan agar meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut, serta perlunya membuat laporan kinerja sosial (misal jumlah nasabah yang terlayani, sektopr usaha, dan sebaginya) untuk mengukur manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan.
Pencanangan “The International Year of Microcredit” oleh Koffi Anan sebagai Sekjen PBB pada tanggal 18 November 2004, di Markas Besar PBB – New York, merupakan sebuah pengakuan internasional terhadap eksistensi dan esensi keuangan mikro, terutama dalam kerangka pengentasan kemiskinan dunia. Dalam pidatonya, dinyatakan bahwa keuangan mikro selama ini telah terbukti sebagai alat yang sangat efektif untuk memerangi kemiskinan dalam kerangka Millenium Development Goals. Kemajuan di bidang keuangan mikro antara lain ditandai dengan kesuksesan pengelolaan LKM oleh Grameen Bank dari Bangladesh. Hal ini juga merupakan pengakuan internasional, bahwa pengentasan kemiskinan dapat efektif diperangi melalui LKM.
Kebijakan dan strategi yang dibuat untuk LKM di beberapa negara pada umumnya untuk memfasilitasi kemudahan bagi LKM dalam melakukan usahanya, terutama dalam penghimpunan dana dari masyarakat dengan pembatasan tertentu, seperti batas wilayah dan jumlah dana yang dapat dihimpun, atau lainnya.
Dari berbagai riset yang dilakukan World Bank (1999) menemukan kebanyakan negara memberikan izin penghimpunan dana dari masyarakat hanya kepada lembaga keuangan formal (yang mendapatkan izin). Hal ini menunjukan perlu adanya pembedaan izin yang jelas kepada LKM informal, dengan menekankan perlu adanya treshholds yang menentukan pendekatan regulasi yang akan diambil. Sebagai contoh, LSM menghimpun dan menggunakan dana dari pihak lain, terutama dari donor, koperasi menghimpun dan menggunakan dana hanya dari anggota, dan bank menghimpun dan menggunakan dana dari masyarakat.
LKM yang menghimpun dana dari masyarakat seharusnya diatur dengan regulasi yang menerapkan prinsip kehati-hatian. Sedangkan hasil riset yang dilakukan CGAP (2002) menyimpulkan bahwa kebanyakan regulasi kekuangan mikro bertujuan positif, yaitu baik memfasilitasi kemudahan pelaku baru untuk masuk kedalam industri keuangan mikro maupun kegiatan-kegiatan keuangan mikro itu sendiri. Namun demikian, ketika LKM dimungkinkan untuk menghimpun dana dari masyarakat, maka regulasi dengan prinsip kehati-hatian harus diberlakukan dengan tujuan untuk melindungi penyimpan dana / penabung. Selain itu, apabila skala usaha LKM sudah sangat besar dan memberikan dampak yang signifikan kepada sektor keuangan sebuah negara, maka risiko sistemik harus menjadi pertimbangan penting dalam penetapan regulasi.
Sementara hasil studi yang dilakukan GTZ (2003) menjelaskan bahwa penekanan regulasi keuangan mikro adalah pada masalah kelembagaan dan fungsi. Di kebanyakan negara regulasi bagi LKM dengan bentuk lembaga khusus diatur tersendiri dengan Undang-Undang Keuangan Mikro. Sedangkan regulasi dengan pendekatan fungsi mengatur tentang pasar sasaran sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian, keuangan mikro lebih dilihat sebagai aktivitas keuangan daripada jenis lembaganya.
Pelajaran yang dapat diambil dari praktek penerapan regulasi di beberapa negara, seperti Bangladesh, Bolivia, Kamboja, Ghana, India, Philipina, Sri Lanka dan beberapa negara Amerika Latin adalah bahwa negara-negara berkembang masih terus mengembangkan kerangka hukum bagi keuangan mikro. Di sejumlah negara telah menerapkan kerangka hukum bagi keuangan mikro berdasarkan tingkatan, dan mengizinkan adanya LKM “new window” (jenis LKM yang tidak masuk dalam regulasi yang ada saat ini). Jenis-jenis LKM ini menciptakan banyak lembaga baru, dengan modal disetor berkisar antara US$ 20 ribu hingga US$ 1 juta. Di beberapa negara LSM diperbolehkan melakukan aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran kredit.
a.    Kerangka Hukum LKM di Philipina
Philipina merupakan negara yang relatif telah memiliki kerangka hukum keuangan mikro yang baik, yang mengatur berbagai jenis LKM kedalam tingkatan (tiering) berikut:
·      Thrift Banks, dengan modal minimum US$ 1 juta hingga US$ 6,5 juta jika kantor pusatnya berada di Ibukota Negara, Manila. Bank ini dimiliki oleh masyarakat / swasta, dan diberikan izin berdasarkat Undang-undang Thrift Banks. Bank ini diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat, di bawah supervisi bank sentral, serta memperoleh penjaminan simpanan dari Perusahaan Asuransi Simpanan. Dana yang terhimpun disalurkan kedalam pembiayaan jangka menengah-panjang untuk sektor usaha mikro, kecil, menengah dan umum.
·      Rural Bank (Bank Pedesaan), dan Bank Koperasi diatur dengan Undangundang Rural bank. Modal disetor minimal antara US$ 50 ribu hingga US$ 260 ribu tergantung pada lokasinya. Wilayah operasinya dibatasi untuk daerah tertentu, sedangkan jenis layanan yang diberikan berupa tabungan, deposito berjangka dan kredit. Bank ini dimiliki oleh masyarakat / swasta. Bank ini juga memiliki mendapatkan penjaminan simpanan dari Perusahaan Asuransi Simpanan, serta memiliki target pasar yang sama dengan Trift Banks.
·      Koperasi Lembaga Keuangan (CFI), seperti Credit Union (Koperasi Kredit), dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), didaftarkan berdasarkan Undangundang Pengembangan Koperasi, dan disupervisi oleh Otorita Pengembangan Koperasi (CDA). Seperti di beberapa negara lain, CFI berada di luar wilayah yuridis bank sentral, serta di luar sistem penjaminan simpanan. CFI tidak diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat.
·      LSM, atau lembaga swasta lainnya yang beroperasi sebagai yayasan yang berorientasi nir-laba yang dibiayai dengan dana hibah dan kredit komersial diatur dengan Undang-undang Trusts dan Yayasan Nir-laba. Lembagalembaga ini tidak memiliki lembaga supervisi, walaupun mereka diwajibkan untuk melaporkan kegiatannya kepada Securities Exchange Commission (regulasi non-prudential).

b.   Kerangka Hukum LKM di Ghana
Sementara di Ghana, kerangka hukum bagi LKM dibagi kedalam dua jenis, yaitu LKM dibawah Undang-undang Perbankan (1989) dan dibawah Undangundang Lembaga Keuangan Bukan Bank (1993). Seluruh LKM yang ada wajib berbadan hukum (legal entities), dengan sistem tiering sebagai berikut:
·      Rural Banks (Bank Pedesaan), dengan modal disetor minimum US$ 20 ribu. LKM ini dapat dimiliki oleh masyarakat, dan diatur dengan Undangundang Perbankan. Operasionalnya dibatasi dengan tidak diperbolehkan membuka cabang, aktivitasnya hanya diperbolehkan untuk daerah pedesaan tertentu, dan kegiatan usahanya terbatas pada layanan tabungan, deposito berjangka dan pembiayaan. Pengambilan keputusan sama dengan keputusan koperasi, dimana satu pemegang saham memiliki  satu suara.
·      Perusahaan simpan pinjam, dengan modal disetor minimal US$ 50 ribu. Perusahaan ini dibawah Undang-undang Lembaga Keuangan Bukan Bank, dengan cakupan usaha terbatas pada layanan tabungan, deposito berjangka, dan pembiayaan (termasuk sewa beli), tetapi lembaga ini diberikan hak untuk memiliki kantor cabang. Perusahaan ini dapat dimiliki oleh individu dalam bentuk kepemilikan saham (seperti perseroan terbatas).
·      Credit Union, didaftarkan berdasarkan Undang-undang Koperasi, dan diatur dengan Badan Pengawasan Credit Union – instansi pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Perbankan, Credit Union juga harus didaftar dan mendapatkan izin dari Bank of Ghana. LKM ini hanya boleh memberikan layanan kepada anggotanya saja, walaupun operasionalnya menggunakan prinsip kehati-hatian dan panduan yang dikeluarkan oleh Bank of Ghana.
·      Lembaga Swadaya Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas kredit dapat diberi izin berdasarkan Undang-undang Trust & Charitable Institution, yaitu kerangka hukum yang memfasilitasi transformasi menjadi LKM yang legal (termasuk penghimpunan dana masyarakat).

c.   Kerangka Hukum LKM di Bolivia
Sementara itu, di Bolivia lembaga yang menyediakan layanan kredit berupa Bank, Perusahaan Mutual Saving and Loan (terutama untuk pembiayaan perumahan) dan Credit Union (yang juga banyak bergerak di bidang pembiayaan perumahan). Pada tahun 1995, dengan mengikuti rekomendasi dari GTZ, dibentuk kategori lembaga keuangan baru yang khusus melayani keuangan mikro, dengan sebutan Dana Keuangan Swasta (Private Financial Funds). Lembaga ini dibatasi jumlah kewajibannya, dan membutuhkan modal disetor sebesar US$ 1 juta (sedangkan modal disetor bank sebesar US$ 3,2 juta). Rasio kecukupan modal (CAR) minimal harus 10%, dan kegiatan usahanya dibatasi dengan tidak boleh menghimpun dana masyarakat, terlibat dalam pembiayaan piutang atau investasi. Untuk memastikan orientasi mereka pada keuangan mikro, maka besaran kreditnya dibatasi maksimal 3% dari total modal. Kerangka hukum ini juga meliputi pengaturan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberikan layanan keuangan mikro.

C.   Yuridis
Saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Lembaga Keuangan Mikro. Secara yuridis  keberlakukan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah, Dan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 351.1/KMK.010/2009, Nomor: 900-639A Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, dan Nomor: 11/43A/KEP.GBI/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (SKB LKM).
Dalam SKB LKM terdiri dari 8 (delapan) pengaturan yang meliputi:
1.     Pembatasan istilah LKM menurut SKB ini meliputi LKM yang belum berbadan hukum, dibentuk atas inisiatif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat seperti Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan, kelompok Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2.     Sasaran pelaksanaan Strategi Pengembangan LKM, yaitu beralihnya LKM yang belum berbadan hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.     Proses peralihan atau transformasi LKM, yang diawali dengan terlebih dahulu melakukan pendataan, edukasi dan sosialisasi terhadap LKM belum berbadan hukum.
4.     Kesepakatan yang berisi:
a.      Bank Indonesia memberikan konsultasi kepada LKM yang akan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pendirian dan perizinan BPR/S.
b.      Departemen Dalam Negeri, bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, melakukan pembinaan terhadap LKM yang akan menjadi Badan Usaha Milik Desa.
c.      Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah bersama-sama dengan pemerintah daerah memfasilitasi, memberdayakan, dan membina LKM yang akan menjadi Koperasi
d.      Departemen Keuangan memberikan konsultasi kepada LKM yang kegiatan usahanya menyerupai lembaga keuangan yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Keuangan menjadi lembaga keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5.     Rincian dari pelaksanaan tugas masing-masing instansi selama proses dan pasca transformasi LKM.
6.     Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Bank Indonesia melakukan kegiatan inventarisasi, edukasi, sosialisasi, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi pengembangan LKM.
7.     Menko Perekonomian membentuk Tim yang beranggotakan Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, serta instansi terkait lainnya.
8.     Biaya yang timbul dalam pelaksanaan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dibebankan pada anggaran masing-masing kementerian/ lembaga, yang diproses sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.






BAB III
DEFINISI KONSEP DAN ASAS YANG DIGUNAKAN
DALAM PENYUSUNAN NORMA

A.   Definisi Konsep
Keuangan mikro didefinisikan sebagai layanan jasa keuangan berupa penghimpun dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah kecil, dan penyediaan jasa-jasa keuangan terkait, yang ditujukan untuk kelompok masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Sedangkan pengertian umum Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan penyedia jasa keuangan mikro. Dengan demikian, dalam pengertian umum tersebut, lembaga penyedia jasa keuangan mikro dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu 1) Badan hukum bank (seperti BPR, BRI Unit, dsb.); 2) Badan hukum Koperasi (seperti KSP, USP, dsb.); dan 3) Belum berbadan hukum tetap berdasarkan undang-undang, dimana kelompok ini sering disebut sebagai LKM.
Total LKM yang ada sebanyak 77.422 unit diluar Kelompok Masyarakat (Pokmas) sebagai pendukung berbagai program pemerintah[5]. LKM yang berbentuk bank, seperti BPR, BRI Unit, Danamon Simpan Pinjam (DSP), dan unit-unit pelayanan dari bank umum, berjumlah sebanyak 8.239 unit. LKM yang berbadan hukum Koperasi, baik dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) maupun Unit Simpan Pinjam (USP), berjumlah 37.820 unit. Adapun LKM seperti BMT, BKD, LDKP, dan sebagainya, diluar Pokmas, sebanyak 31.363 unit.
Sementara itu, jumlah Pokmas pendukung program pemerintah yang juga melaksanakan kegiatan LKM, seperti PPK, P2KP, P4k, UPPKS, KUBE, dan sebagainya hingga saat ini berjumlah 606.475 unit[6] .  Dengan demikian, totall LKM saat ini berjumlah 637.838 unit. LKM pada umumnya beroperasi dalam lingkup wilayah tertentu yang cakupannya sangat kecil, seperti dalam satu desa / kelurahan atau kecamatan. Namun sayang, hingga kini belum ada jumlah pasti berapa orang yang mendapatkan pelayanan dari LKM tersebut, termasuk nilai pelayannya. Namun, apabila diasumsikan masing-masing unit LKM tersebut mampu menyalurkan pembiayaan kepada 30 orang miskin dan atau usaha mikro, masing-masing sebesar Rp. 100 ribu, maka LKM akan menjangkau sekitar 19 juta orang, dengan total pembiayaan yang dapat disalurkan sebanyak hampir Rp. 64 trilyun.
Melihat besarnya potensi LKM tersebut, maka LKM dapat dijadikan salah satu instrumen strategis yang efektif untuk menjangkau usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, guna meningkatkan kaspasitas usaha, serta menurunkan tingkat kemiskinan secara struktural dan berkelanjutan. Jumlah LKM yang sangat besar dan beragam tersebut, merupakan salah satu aset bangsa yang sangat bernilai. Bahkan menurut Gonzalez-Vega, Chaves (1992), Indonesia merupakan laboratorium keuangan mikro terbesar di dunia, yang telah melakukan berbagai pengujian terhadap beragam LKM. Dengan kata lain, apabila LKM di Indonesia ditata kembali dengan baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kiblat bagi LKM di seluruh dunia, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan citra bangsa.

1. Karakteristik Usaha Mikro dan Lembaga Keuangan yang Tepat
Pengguna jasa layanan LKM pada umumnya berasal dari masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang secara ekonomi masih aktif. Golongan masyarakat ini juga sering disebut sebagai pelaku usaha mikro.
Jenis usaha mikro sangat beragam, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
·      Aktivitas usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan yang kesemuanya itu dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten, pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.
·      Aktivitas usaha pemenuhan kebutuhan tersier, seperti transportasi (baik darat maupun air, misalnya ojek, angkot, delman, dsb.), kegiatan sewa menyewa baik rumah, tanah, maupun alat produksi.
·      Aktivitas usaha terkait dengan distribusi, seperti perdagangan, baik di pasar maupun dalam bentuk warung kelontong, kaki lima, penyalur / agen, serta usaha sejenisnya.
·      Aktivitas usaha jasa lainnya, seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.

Karakteristik usaha mikro juga sangat beragam, namun dapat dikelompokan dalam karakteristik dasar sebagai berikut:
·      informal
Sebagian besar pelaku usaha mikro berusaha di luar kerangka legal dan pengaturan (legal and regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang ada atau ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada (yang seringkali merugikan pelaku usaha kecil), menjadi ruang yang membuat ekonomi rakyat justru bisa berkembang. Informalitas inilah yang sering menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mudah, cepat dan fleksibel, walaupun dikenakan suku bunga yang sangat tinggi.
·      mobilitas tinggi
Aspek informalitas usaha mikro membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktivitas ekonomi rakyat. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktivitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang, maka dengan segera akan banyak pelaku yang menerjuninya, sebaliknya apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain. Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan aktivitas primer, seperti pertanian di mana para pelakunya jarang meninggalkan aktivitas pertaniannya.
·      usaha keluarga dan tidak fokus
Usaha mikro pada umumnya dimiliki dan dijalankan oleh satu keluarga secara bersama-sama, sebagai kesadaran mereka atas optimalisasi sumber daya dan asas manfaat bersama. Misal, sebuah keluarga yang memiliki usaha bertani, mereka juga pada umunya memiliki usaha ternak, kambing atau lembu, yang dipelihara oleh anaknya. Usaha itu dijalankan selain untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya, juga sebagai sering diguanakan sebagai instrumen simpanan yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan ketika usaha taninya sedang gagal panen.
·      mandiri
Bagi lembaga keuangan formal, usaha mikro pada umumnya masih diyakini sebagai usaha yang unbankable dan high risk. Oleh karenanya, bantuan modal terhadap usaha mikro masih sangat kecil dibandingkan dengan skala usaha menengah besar yang jumlah pelakunya jauh lebih sedikit. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha mikro mampu mandiri dalam hal penyediaan modal.

2. Karakteristik Kebutuhan Masyarakat Miskin dan Usaha Mikro terhadap Jasa   Keuangan
Masyarakat miskin atau usaha mikro pada umunya membutuhkan jasa keuangan untuk memenuhi 3 hal berikut ini:
·      Memenuhi Siklus Hidup (life cycle needs)
Siklus hidup, seperti kelahiran anak, menyekolahkan anak, menikahkan anak, pemakaman sering membutuhkan biaya yang relatif tinggi bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sehingga tidak jarang mereka harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan ini.
·      Memenuhi Kebutuhan Darurat (emergency needs)
Pengeluaran tak terduga sebelumnya, juga sering menjadi alasan mengapa masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah harus berhutang. Misal kejadian tak terduga tersebut berupa kejadian sakit, gagal panen, adanya penggusuran tempat usaha, sumbangan kepada tetangga atau sanak saudara yang sedang hajatan, kejadian pencurian, dan sebagainya.
·      Memenuhi Kebutuhan untuk Memanfaatkan Peluang (opportunity needs)
Sesuai dengan karakteristik usaha mikro yang memiliki mobilitas tinggi dan informal, pada umumnya mereka sangat mudah untuk menangkap peluang usaha. Dengan karakteristik tersebut, maka layanan keuangan mikro yang cepat, mudah persyaratannya, dan fleksibel penggunaannya merupakan kebutuhan masyarakat miskin/usaha mikro untuk menajalankan usaha dalam rangka menangkap adanya peluang.

3. Karakteristik LKM
Berdasarkan pengamatan, tujuan utama didirikannya LKM pada umumnya dimaksudkan untuk memobilisasi dana dari masyarakat di pedesaan dan disalurkan kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta untuk membiayai usaha mereka yang berskala mikro. Dengan demikian, LKM ini berkonsentrasi pada kegiatan simpan pinjam. Namun demikian, beberapa LKM juga melakukan aktivitas penempatan dana di bank umum, simpan pinjam keliling, berperan sebagai agen asuransi (tidak ikut menjamin), ikut dalam asosiasi (perkumpulan) yang mendukung operasinya atau skema penjaminan simpanan di antara mereka (seperti tabaru’), dan aktivitas terkait lainnya yang dianggap tidak melanggar tata susila dan peraturan. Keseluruhan transaksi pada umunya dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah.
Wilayah operasinya pada umumnya di pedesaan sebagai respons terhadap adanya gap antara kebutuhan dan ketersediaan layanan keuangan mikro. Namun demikian, beberapa LKM ini juga beroperasi di perkotaan masih yang memiliki gap layanan finansial bagi masayarakat miskin perkotaan.
Dari sisi kepemilikan, LKM ini pada umumnya dimiliki oleh individu secara berkelompok, masyarakat dalam satu wilayah, seperti desa, kampung, dan ada juga yang dimiliki oleh pemerintahan desa, atau yayasan. Beberapa LKM memiliki kantor cabang, baik dalam wilayah operasinya maupun terkadang menyeberang di luar batas wilayah operasinya. Selain pembukaan kantor cabang, untuk memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat LKM pada umumnya juga mengoperasikan layanan keliling, baik untuk penghimpunan dana maupun untuk penagihan pinjaman.
Struktur tata kelola yang diterapkan LKM ini pada umumnya dipimpin oleh seorang manajer, dan dibantu oleh tenaga pemasaran yang sekaligus sebagai kolektor, dan tenaga pembukuan. Pembukuan dan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak standar dan cenderung sangat sederhana. Pengawasan biasanya dilakukan oleh Dewan Pengawas, namun pada umumnya dewan ini tidak aktif melakukan pengawasan. Ketidakjelasan entitas hukum LKM ini, juga tidak jarang dimanfaatkan oleh rentenir (seorang pemodal pelepas uang) yang beroperasi seolah-olah resmi seperti lembaga keuangan.
Di lihat dari sisi volume usaha, LKM ini memiliki varian yang sangat lebar, dimana terdapat LKM yang memiliki total aset dan atau keuntungan jauh melebihi BPR atau KSP. Namun sebagian besar lainnya memiliki aset yang sangat kecil. Imbal hasil yang ditetapkan oleh LKM ini relatif sangat tinggi dibandingkan dengan LKM formal, baik imbal hasil terhadap simpanan maupun imbal hasil pinjaman. Tingginya imbal hasil tersebut, selain secara alamiah untuk menutup risiko yang tinggi, juga dikarenakan pada umumnya belum tercapaikan skala ekonomis usaha LKM pada tingkat yang efisien.

B.   Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
Regulasi terkait yang mengatur lembaga yang dapat menyelenggarakan layanan keuangan mikro hingga saat ini adalah UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta Peraturan Pemerintah Nomor 103/2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian. Karena lembaga Pegadaian hanya dimiliki Pemerintah, maka lembaga yang dapat dimiliki publik pada dasarnya hanya memiliki dua kerangka hukum, yakni Perbankan dan Koperasi. Walaupun regulasi yang ada saat ini tersebut telah diupayakan untuk sedapat mungkin mewadahi berbagai lembaga penyedia layanan keuangan mikro yang jumlahnya sangat banyak, namun hal itu secara nyata belum mampu menjadi tempat yang sesuai dengan karakteristik lembaga penyedia layanan keuangan mikro itu sendiri, khususnya lembaga penyedia layanan keuangan mikro yang tidak berbentuk bank atau koperasi, atau disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) – LKM B3K.

1.    Kerangka Hukum Bank
Undang-undang perbankan yang mengharuskan BKD dan LDKP menjadi BPR, ternyata tidak mampu mengakomodasi seluruh BKD dan LDKP yang dipersamakan sebagai BPR[7] . Kemungkinan, tidak terakomodasinya BKD dan LDKP yang dipersamakan dengan BPR tersebut dengan undang-undang perbankan, dikarenakan karena: 1) ketidak-mampuan memenuhi berbagai persyaratan perbankan yang telah ditentukan, atau 2) ketidak-mauan para pengelola lembaga-lembaga tersebut terikat dengan undang-undang perbankan yang relatif akan membatasi fleksibilitas pelayanannya, sehingga pelayannya tidak lagi sesuai dengan kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan.
Besarnya modal disetor[8]  bagi pendirian BPR juga menghambat perkembangan BPR di pedesaan, terutama daerah yang tingkat populasinya relatif sedikit. Hal ini juga sebagai salah satu yang mendorong masyarakat mendirikan lembaga keuangan alternatif yang fokus melayani usaha mikro.

2.    Kerangka Hukum Koperasi
Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota / pemilik koperasi karena kepentingan masingmasing dari mereka sangat beragam.
Berangkat dari kenyataan yang ada, dimana usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan, maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain (berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya. Undang-undang perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Kendatipun BPR diatur secara berbeda daripada bank umum, namun tidak semua usaha mikro mampu memenuhi berbagai ketentuan bank practice dan penerapan prinsip kehati-hatian bank yang diterapkan BPR. Misal banyak usaha mikro yang tidak dapat mengakses pembiayaan dari BPR karena tidak memiliki jaminan, tidak memenuhi syarat administrasi yang rumit yang dibutuhkan untuk kebutuhan informasi debitur, pembayaran / pengembalian dilakukan ketika saat panen (atau diistilahkan “yarnen”), dan sebagainya.
Menurut GTZ Undang-undang Perbankan bersifat sangat mengatur terlalu ketat (too restrictive), hal itu menyebabkan kurangnya fleksibilitas bagi LKM yang harus menjadi BPR. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Sumantoro (2002) yang dilakukan terhadap 100 BKD dan LDKP yang berubah menjadi BPR menunjukan bahwa sekitar 90% dari seluruh BKD mengalami marjin negatif akibat dari perubahan sistem akuntansi, struktur organisasi, dan peningkatan biaya yang sukar diadaptasi. Selain itu, hal tersebut juga tidak mendorong efektivitas LKM tersebut sebagai lembaga pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin di pedesaan karena kriteria CAMEL tidak memperhatikan penyediaan sarana dan “pendalaman” akses pelayanan. Pada awal pemberlakuan CAMEL di tahun 1991/1992, jumlah pemimjam BKK menurun 11,6% jumlah peminjaman baru berkurang 23%, sebaliknya jumlah pinjaman rata-rata naik sebesar 26,8%.
Sementara itu, rencana implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana pengaturan BPR cenderung lebih ketat, misal persyaratan modal disetor yang lebih besar, pembukaan kantor cabang sangat selektif, perizinan pendirian BPR baru dibatasi, dan sebagainya berakibat pada semakin sulitnya LKM untuk meng-upgrade dirinya menjadi BPR.
Di sisi lain, undang-undang perkoperasian sebagai alternatif pilihan regulasi bagi LKM dianggap kurang sesuai karena perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan LKM itu sendiri. Misal koperasi tidak mudah untuk menangkap peluang pendanaan melalui penghimpunan dana atau pembiayaan dari dan ke luar anggota, karena hal tersebut akan melanggar undang-undang yang ada. Selain itu, dari aspek usaha pembiayaan yang dibatasi kepada anggota koperasi, yang relatif memiliki kesamaan karakteristik usaha (homogen), sangat bertentangan dengan prinsip penyebaran risiko pembiayaan (diistilahkan “menempatkan telor pada satu keranjang”). Untuk itu, memaksakan LKM untuk memiliki badan hukum koperasi dikhawatirkan akan menurunkan kinerja LKM.
Kesenjangan ini pun belum juga dapat sepenuhnya dicukupi oleh LKM berbentuk koperasi di pedesaan, antara lain karena adanya prinsip / persyaratan keanggotaan untuk mendapatkan layanan koperasi. Hal ini mengingat sebagian besar usaha mikro atau masyarakat miskin ingin mendapatkan layanan keuangan mikro tanpa harus menjadi pemilik LKM tersebut.

3.    Kerangka Hukum LKM
Pada kenyataannya di masyarakat telah berkembang LKM yang tidak mengikuti kedua regulasi tersebut di atas, atau yang disebut sebagai LKM, atau juga biasa disebut sebagai “3rd window,” sebagai alternatif upaya agar usaha mikro tetap memperoleh pelayanan keuangan. LKM tersebut kini beroperasi tanpa landasan hukum yang jelas, dan bahkan sebagian besar dari mereka secara nyata melanggar undang-undang perbankan (UU No. 10/98), khususnya pasal 16 yang mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha menghimpun dana terlebih dahulu wajib memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau BPR dari Bank Indonesia.
Di satu sisi, kehadirannya LKM secara riil di lapangan sangat diperlukan oleh pelaku usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta masyarakat pedesaan pada umumnya. Di lain pihak, pemerintah tidak mengatur keberadaan mereka sebagai bentuk perlindungan kepada para pelaku LKM beserta pengguna jasanya, yang sebagian besar adalah usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Ketidaktegasan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap LKM yang melanggar hukum, seperti melakukan penghimpunan dana dari masyarakat (melakukan “praktek bank gelap”), yang dapat berpotensi merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak buruk yang potensi timbul tersebut adalah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh orang atau kelompok tertentu dengan mengatasnamakan LKM untuk mencari keuntungan sendiri, melalui penghimpunan dana dari masyarakat, pencucian uang, dan sebagainya yang pada akhirnya akan merugikan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya.
Namun demikian, apabila pemerintah melakukan penegakan hukum secara tegas, dengan memaksakan LKM untuk masuk kedalam sistem regulasi yang ada saat ini, atau secara ekstrim harus membubarkan / melikuidasi keberadaan mereka, maka biaya yang harus ditanggung pemerintah akan sangat besar, terutama untuk menghadapi berbagai masalah sosial yang timbul, seperti terjadinya keresahan masyarakat usaha mikro dan masyarakat miskin yang jumlahnya sangat besar beserta ekses-ekses negatifnya.
Contoh kasus penegakan hukum tersebut pernah terjadi di Lampung dan Kendal – Jawa Tengah[9], dimana polisi menangkap dan memeriksa beberapa pengurus BMT dengan tuduhan melakukan praktek bank gelap –yaitu melakukan penghimpunan dana dari masyarakat sebagai calon anggota. Hal ini jelas sangat meresahkan masyarakat, khususnya para pelaku BMT, serta akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan LKM yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Kesenjangan antara kebutuhan dan penawaran jasa layanan keuangan mikro yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah timbul akibat kurangnya keberpihakan regulasi yang ada saat ini terhadap usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah sesuai karakteristiknya. Namun demikian, pemaksaan terhadap regulasi yang saat ini ada untuk berubah dan mengakomodasi kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah bukanlah tindakan yang bijak, karena perbankan secara internasional mengikuti prinsip Basle II. Sedangkan keuangan mikro secara internasional memiliki prinsip-prinsip tersendiri. Misal, perbankan tetap wajib menerapkan segala prinsip kehati-hatiannya, walaupun hal ini sebagai penyebab sulitnya akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap pelayanan jasa keuangan, namun hal itu semata-mata ditempuh agar bank dapat sustainable untuk mendukung perkonomian nasional. Sebaliknya ketika perbankan dipaksakan untuk melonggarkan implementasi prinsip kehati-hatian agar dapat melayani usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sangat dikhawatirkan justru akan menimbulkan penurunan kinerja.
Oleh karena itu, pemberian payung hukum atau azas legalitas bagi LKM merupakan langkah konkrit keberpihakan semua pihak kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah di Indonesia yang belakangan ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, tanpa harus mengorbankan tatanan industri lembaga keuangan yang ada saat ini. Pemberian payung hukum bagi LKM ini bukan saja sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan mereka yang secara nyata sangat dibutuhkan masayarakat misikin sesuai dengan karakteristiknya, namun juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, baik bagi para pelaku maupun penggunanya, serta untuk mendorong terciptanya industri LKM yang berkelanjutan (sustainable) dalam memberikan pelayanan jasa keuangan kepada usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya.

BAB IV
KAJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

1.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Dalam pengaturan di Undang-Undang Perbankan, keterkaitan dengan pembentukan RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terdapat pada  LKM yang berbentuk  Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam Undang-Undang Perbankan, pengaturan mengenai BPR merujuk pada beberapa pasal, yaitu: Pasal 13, Pasal 16, Pasal 19, dan Pasal 29. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Perbankan, usaha BPR meliputi:
a.   menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b.   memberikan kredit;
c.   menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.;
d.   menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.
Selanjutnya dalam melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib, Pasal 16 Undang-Undang Perbankan menyatakan bahwa BPR terlebih dahulu memperoleh izin usaha Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang‑undang tersendiri, dimana persyaratan yang wajib dipenuhi paling sedikit memuat:
a.    susunan organisasi dan kepengurusan;
b.    permodalan;
c.    kepemilikan;
d.    keahlian di bidang Perbankan;
e.    kelayakan rencana kerja.
Selanjutnya, menurut Pasal 29 Undang-Undang Perbankan, pembinaan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia, dimana terkait ini, BPR wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati‑hatian.

2.    Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Dalam hal LKM yang dibentuk berupa koperasi, yang dalam hal ini bentuk koperasi yang sesuai dengan LKM adalah koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam koperasi, pengaturan dalam Undang-Undang Koperasi yang perlu menjadi perhatian untuk diharmonisasi atau disinkronisasi dalam wacana pembentukan Undang-Undang LKM adalah  beberapa ketentuan pasal sebagai berikut, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 9, dan Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian.
Dalam hal pendirian LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam, menurut Pasal 9 Undang-Undang Koperasi,  memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah. Selanjutnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian menyatakan bahwa dalam menjalankan usahanya, Koperasi dapat melaksanakan usaha simpan pinjam, dengan cara menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk:
a.   anggota Koperasi yang bersangkutan;
b.   Koperasi lain dan/atau anggotanya.
Pada prinsipnya, pengaturan mengenai kegiatan Koperasi Simpan Pinjam atau unit simpan pinjam koperasi belum diatur secara detil dalam undang-undang tersendiri, namun sebagai peraturan pelaksana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Substansi-substansi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 memuat definisi Koperasi Simpan Pinjam (KSP), bentuk organisasi, pendirian, permodalan, dan pembinaan. Definisi KSP menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1995 adalah koperasi yang kegiatannya hanya usaha simpan pinjam. Bentuk organisasi dari KSP menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1995 dinyatakan  bahwa kegiatan usaha simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam, dimana bentuk keduanya dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder. Selanjutnya, dalam hal pendirian,  menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1995, dinyatakan bahwa Pendirian Koperasi Simpan Pinjam dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan Akta Pendirian dan perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Dimana permintaan pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam diajukan dengan tambahan lampiran:
a.   rencana kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
b.   administrasi dan pembukuan;
c.   nama dan riwayat hidup calon Pengelola;
d.   daftar sarana kerja.

3.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Menjadi Undang-Undang.
Pada prinsipnya LKM yang berbentuk BPR, menjadi obyek dalam Undang-Undang LPS. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang LPS, yang menyatakan bahwa Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan. Mengingat hal itu, maka ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang LPS berlaku pula untuk BPR, yang di satu sisi merupakan salah satu bentuk dari LKM. Adapun beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang LPS yang perlu menjadi perhatian bagi pembentukan Undang-Undang LKM, khususnya LKM yang berbentuk BPR, yaitu ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang LPS.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang LPS, dinyatakan bahwa setiap Bank, termasuk diantaranya BPR, yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan. Namun demikian kewajiban ini tidak termasuk Badan Kredit Desa. Selanjutnya untuk melengkapi kewajiban BPR sebagai peserta penjaminan, dalam Pasal 9 Undang-Undang LPS, BPR wajib
a.   menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1)    salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank;
2)    salinan dokumen perizinan bank;
3)    surat keterangan tingkat kesehatan bank yang dikeluarkan oleh LPP yang dilengkapi dengan data pendukung;
4)    surat pernyataan dari direksi, komisaris, dan pemegang saham bank, yang memuat:
i.    komitmen dan kesediaan direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk mematuhi seluruh ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan LPS;
ii.   kesediaan untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha bank;
iii.  kesediaan untuk melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan apabila bank menjadi Bank Gagal dan diputuskan untuk diselamatkan atau dilikuidasi;
b.   membayar kontribusi kepesertaan sebesar 0,1% (satu perseribu) dari modal sendiri (ekuitas) bank pada akhir tahun fiskal sebelumnya atau dari modal disetor bagi bank baru;
c.   membayar premi Penjaminan;
d.   menyampaikan laporan secara berkala dalam format yang ditentukan;
e.   memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan; dan
f.    menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat.

4.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)
Dalam kaitannya dengan pembentukan LKM, dalam Undang-Undang UMKM terdapat beberapa ketentuan pasal yang perlu menjadi perhatian, terutama terkait dengan definisi usaha mikro dan pembiayaan, kriteria usaha mikro, dan pembiayaan bagi usaha mikro, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 6 ayat 1, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang UMKM.
Definisi usaha mikro yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1  adalah Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan pembiayaan, yang merupakan kunci pelaksanaan LKM dalam usaha mikro, menurut Pasal 1 angka 11 didefinisikan sebagai penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil,  dan Menengah.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang UMKM, menyatakan kriteria suatu usaha mikro meliputi sebagai berikut:
a.    memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b.    memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga  ratus juta rupiah).
Terkait dengan pembiayaan untuk usaha mikro, dalam Pasal 21 Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro. Selain itu, Badan Usaha Milik Negara dapat pula menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Masih terkait dengan pembiayaan untuk usaha mikro, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. Selain itu pula, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro.
Selanjutnya, dalam Pasal 22 Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro, Pemerintah melakukan upaya:
a.    pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
b.    pengembangan lembaga modal ventura;
c.    pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
d.    peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan
e.    pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk meningkatkan akses Usaha Mikro, dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang UMKM, Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
a.    menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;
b.    menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan
c.    memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Undang-Undang BI)
Wacana pembentukan Undang-Undang LKM terkait dengan beberapa Undang-Undang. Dalam hal keterkaitannya dengan Undang-Undang Bank Indonesia dapat dilihat dari materi Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, yang diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 Undang-Undang BI, yang merupakan salah satu tugas BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang BI, selain menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter dan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
 Pada prinsipnya tugas mengatur dan mengawasi bank, dilakukan oleh BI terhadap semua kriteria yang didefinisikan bank menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang BI, yaitu termasuk BPR dan BPRS, yang mana merupakan salah satu jenis LKM berbentuk bank.
Dalam hal pengawasan terhadap BPR maupun BPRS, berdasarkan amanat Undang-Undang BI, ke depan akan dibentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang‑undang. Namun demikian sepanjang lembaga pengawasan tersebut belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan BPR/BPRS dilaksanakan oleh Bank Indonesia, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang BI.

6.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan Daerah)
Dalam hal keterkaitan pembentukan Undang-Undang LKM dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dapat dilihat pada lembaga kemasyarakatan di desa dan badan usaha milik desa. Lembaga kemasyarakatan di desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 Undang-Undang Pemerintah Daerah dapat berfungsi untuk  membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa, yang salah satunya lembaga perbedayaan masyarakat desa yang menyalurkan pembiayaan  berbentuk keuangan mikro.
Selanjutnya untuk mengembangkan potensi dan kebutuhan desa, menurut Pasal 213 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa, yang pendiriannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan usaha milik desa ini dalam prakteknya dapat berbentuk Badan Kredit Desa, Badan Usaha Kredit Pedesaan dan bentuk-bentuk lainnya, yang dalam operasionalisasinya dapat menyalurkan kredit/pembiayaan mikro.

7.   Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah)
Sama halnya dengan Undang-Undang Perbankan, keterkaitan Undang-Undang Perbankan Syariah dengan pembentuan Undang-Undang LKM terletak pada LKM yang berbentuk bank. Dalam Undang-Undang Perbankan Syari’ah keterkaitan itu terdapat pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang dalam operasionalisasinya menyalurkan pembiayaan mikro.
Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Perbankan Syariah, definisi BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap BPRS, menurut Pasal 50 Undang-Undang Perbankan Syariah, dilakukan oleh Bank Indonesia.

BAB V
MATERI MUATAN DAN  SISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

A.   Ketentuan Umum
Ketentuan umum dalam undang-undang ini memuat definisi sebagai berikut:
1.         Keuangan mikro adalah kegiatan sektor keuangan berupa penghimpunan dana dan  pemberian pinjaman dalam skala mikro dengan suatu prosedur yang sederhana kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
2.         Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan mikro bukan bank yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
3.         Perkumpulan adalah badan hukum yang merupakan kumpulan orang dan didirikan untuk mewujudkan kesamaan tujuan, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
4.         Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat dan/atau anggotanya kepada LKM berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk tabungan.
5.         Tabungan adalah simpanan di LKM yang penyetorannya dilakukan berangsur-angsur dan penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati antara penyimpan dana dengan LKM yang bersangkutan dengan menggunakan tanda terima dan/atau buku tabungan.
6.         Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk suatu kegiatan usaha yang harus dikembalikan berdasarkan perjanjian dengan disertai pendampingan.
7.         Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk suatu kegiatan usaha yang harus dikembalikan berdasarkan perjanjian sesuai prinsip keuangan syariah dengan disertai pendampingan.
8.         Penyimpan adalah pihak yang menyimpan dananya di LKM dalam bentuk simpanan.
9.         Penerima adalah pihak yang menerima dana dari LKM.
10.      Anggota adalah anggota koperasi dan anggota perkumpulan.
11.      Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
12.      Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang usaha dan keuangan mikro.
13.      Orang adalah orang perorangan dan/atau badan hukum.

B.   Asas dan Tujuan
Penyelenggaraan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berlandaskan pada asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, kemandirian, keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, dan pemerataan sebagai kesatuan dari pembangunan perekonomian nasional dengan tujuan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Adapun uraiannya sebagai berikut:
1.    Asas
a.  Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat sesederhana mungkin.
b.  Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama.    
c.   Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah suatu usaha yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
d.  Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa banyak bergantung kepada pihak lain baik dari aspek sumber daya manusia dan permodalan.
e.  Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah suatu kegiatan usaha yang dapat memberi manfaat kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
f.    Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh masyarakat.
2.    Tujuan
Adapun tujuan dari penyelenggaraan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah untuk:
a.     memberdayakan ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah;
b.     mempermudah akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan mikro; dan
c.      meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.

C.   Bentuk Hukum, Pendirian, Permodalan, Kepemilikan dan Perizinan

1.     Bentuk Hukum
Di Indonesia telah tumbuh berbagai model atau bentuk LKM yang begitu beragam dan sangat kaya, serta sulit ditemukan bandingannya dengan negara lain.[10] Skema di bawah ini memperlihatkan status hukum dari LKM yang ada di Indonesia. Skema ini mendasarkan LKM yang berbentuk bank dan non bank, dimana kategori non bank masih dibagi menjadi formal dan non formal.[11]
BANK
 
 


Oval: BRI UNIT      

Oval: BKD/Badan Kredit Desa
LKM
 
 

Oval: KSP/USPLK
 












Namun demikian, belum diakuinya keberadaan LKM non bank secara legal, membuat keraguan bagi pelakunya untuk mengembangkan diri dan melakukan ekspansi secara maksimal. Dikhawatirkan keberadaannya akan "diganggu" oleh aparat keamanan atau aparat pemerintah setempat, sebab dianggap melakukan "ilegal banking'. Disamping itu, akibat statusnya yang belum legal, membuat kerjasama dengan pihak-pihak lain (misalnya perbankan) ataupun mencari investor menjadi lebih sulit.[12]
Saat ini LKM non bank belum memilki bentuk badan hukum yang jelas. LKM tersebut hanya memiliki akta pendirian dari notaris. Berdasarkan masukan dari daerah bagi LKM yang non bank diarahkan untuk mengacu kepada salah satu bentuk hukum yang diatur dalam SKB LKM (sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya) yaitu Bank Perkreditan Rakyat, Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa.[13]
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya di Indonesia bisa dibagi menjadi 4 model pendekatan, yaitu:[14]
a.    Saving Led Microfinance
Model pendekatan LKM ini bertumpu dari mobilisasi keuangan (tabungan) yang mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin (pengusaha mikro) itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership based atau sangat bertumpu pada anggota, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang sangat penting. Sebagai contoh, bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama (Kube), Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan lain-lain.
Credit Union adalah institusi yang sangat menekankan pinjaman anggota harus berasal dari simpanan atau tabungan para anggota sendiri. Aspek yang sangat ditonjolkan dalam pendekatan saving led microfinancem\ adalah soal pendidikan dan kemandirian, dimana para anggota dididik untuk menggunakan uang secara hati-hati dan terencana melalui tabungan.
b.    Credit Led Microfinance
Sumber pendanaan dari model pendekatan LKM ini terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber-sumber lain yang memang ditujukan untuk pengembangan usaha mikro. Pengumpulan tabungan dari masyarakat miskin membutuhkan waktu yang lama agar bisa memenuhi kebutuhan pinjaman seluruh anggota. Dan seringkali kebutuhan pengusaha mikro terutama bukanlah untuk menabung, akan tetapi lebih untuk mendapatkan akses kredit.
Dengan ketersediaan dana yang memadai, memungkinkan melakukan kegiatan pelayanan keuangan mikro kepada pengusaha mikro yang lebih cepat dan banyak. Namun salah satu persoalan yang sulit bagi LKM model pendekatan ini adalah mencari "investor" yang bersedia melakukan pendanaan. Adapun contoh-contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), baiful mat wattanwil(BMJ), LKM model Grameen Bank, LKM model Association for Social Advancement (ASA), dan bentuk lainnya.
c.    Micro Banking
Model pendekatan dari LKM ini adalah sektor perbankan yang didesain untuk melakukan pelayanan keuangan mikro. Bank yang didesain untuk melakukan ini adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Akan tetapi kini ada kecenderungan pula bank umum yang mulai melayani sektor ekonomi rakyat dan melakukan desain agar mampu menjangkau usaha mikro dan kecil, misalnya Bank Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam. llustrasi di bawah ini akan memperlihatkan kinerja BRI yang kemudian membuat Danamon ikut terjun ke sektor ekonomi rakyat dan ternyata berhasil.
d.    Lingkage Model
Model pendekatan melalui linkage pada prinsipnya memanfaatkan kelembagaan yang telah ada. Dalam hal ini ada dua macam linkage, pertama linkage antar lembaga keuangan dimana lembaga keuangan (perbankan atau lembaga pembiayaan lain) berhubungan dengan LKM. Sebagai contoh saja: linkage antara bank-bank umum dengan BPR, linkage antara Permodalan Nasional Madani (PNM) dan BPR, dll. Link­age yang kedua adalah antara lembaga keuangan (bank) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Linkage ini sering disebut sebagai Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat.

Hasil studi SMERU juga menunjukkan adanya kesulitan yang dihadapi pelaku LKM non formal karena ketidakjelasan status hukumnya, terutama karena tidak dapat memobilisasi dana serta tidak dapat melakukan penegakan hukum terhadap nasabahnya yang bermasalah.[15] Akan tetapi mobilisasi tabungan publik melalui LKM akan berbenturan dengan hukum, sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Dengan demikian bila tidak ada aturan hukum LKM non bank jelas investor dan penabung juga akan terancam, sebab pemerintah tidak bisa melindungi mobilisasi dana (tabungan) masyarakat.
Lembaga keuangan formal (bank) pada umumnya kurang menyentuh sektor yang marjinal ini. Jadi letak permasalahannya bukan besar kecilnya LKM, namun pada fungsi dari keberadaan LKM. Apabiila LKM melayani sektor usaha menengah atau besar, maka sudah tidak bisa dikatakan sebagai LKM. Semakin besar suatu LKM sesuai dengan fungsinya tentu patut didukung, sebab LKM tersebut akan melayani semakin banyak pula pengusaha mikro (masyarakat miskin).
Dengan demikian, untuk melayani pengusaha mikro yang jumlahnya puluhan juta diperlukan capital resources yang cukup besar, namun tidak harus diwujudkan menjadi bank (BPR), karena apabila berwujud menjadi bank, pengusaha mikro akan kesulitan untuk mengakses dikarenakan harus berhadapan dengan prosedur yang konvensional.[16]
Permasalahan selanjutnya, apabila LKM menjadi besar dan tidak menjadi BPR, tetapi diarahkan menjadi koperasi. Kecenderungan koperasi yang dimaksud di sini adalah koperasi simpan pinjam (KSP) atau unit simpan pinjam koperasi, yang harus mengikuti aturan perkoperasian. Bentuk hukum KSP tidak bermasalah tetapi yang menjadi permasalahan apabila para pengusaha mikro yang bukan anggota dan ingin meminjam ke KSP. Apakah pengusaha mikro itu, harus menjadi anggota KSP dahulu? Prosedur ini terasa menjadi panjang dan dapat membuat enggan pengusaha mikro, sebagai pelaku bisnis biasanya ingin memperoleh dana secara cepat dan belum tentu semua pengusaha mikro ingin menjadi anggota koperasi.
Sesuai dengan masukan di lapangan, LKM non koperasi dan non bank tidak memiliki izin usaha untuk operasionalnya tetapi sudah memiliki akta pendirian sebagai badan usaha dari notaris. Untuk BPR dan Koperasi izin usahanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Izin dicabut dan/atau dihentikan jika terjadi pelanggaran hukum terhadap ketentuan yang ada.[17]
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengakui, melindungi, memfasilitasi dan mendorong berbagai LKM bukan bank maka di dalam RUU LKM nanti LKM tersebut diarahkan kepada suatu bentuk hukum tersendiri bukan bank. Badan hukum lain selain BPR dalam SKB LKM diarahkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi. Pendayagunaan potensi ini terutama bertujuan untuk peningkatan kesejahteran ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha ekonomi. Disamping itu, keberadaan BUMDes juga memberikan sumbangan bagi peningkatan sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal. (perlu ditambahkan kelemahan dari BUMDes).
Bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Bab VII bagian kelima yang menyatakan Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pendirian BUMDes, maka berdasarkan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor  72 Tahun 2005 Tentang Desa, dijelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten-Kota perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Badan Usaha Milik Desa.
BUMDes diharapkan dapat menjadi instrument pemberdayaan masyarakat miskin melalui pengembangan peranan sebagai Lembaga Ekonomi Desa dengan fokus pelayanan keuangan dan pengembangan usaha micro finance. Kelompok atau jenis lembaga keuangan mikro bukan Bank bukan Koperasi yakni bentuk keuangan mikro yang merupakan kelompok atau gabungan beberapa orang yang diikat oleh faktor geografis dan kultur atau dasar kepentingan tertentu yang melakukan pola usaha sebagai lembaga atau jasa keuangan mikro kepada usaha-usaha mikro. pengelolaan keuangan oleh kelompok ini pada dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan dengan sistem bergulir, modal yang digunakan dapat bersumber dari bantuan atau iuran langsung dari masyarakat dan/atau anggota kelompok tersebut.
Berdasarkan konsep tersebut BUMDes dikembangkan sesuai dengan potensi ekonomi lokal yang benar-benar prospektif dan sesuai dengan kemampuan yang ada. Organisasi BUMDes berada di luar struktur organisasi pemerintahan desa. Sedangkan kepengurusan BUMDes dipilih berdasarkan musyawarah desa dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa. Lembaga Sumber Permodalan, baik bank maupun non-bank. Dalam hal ini diperlukan fasilitasi yang memungkinkan BUMDes mampu menyusun bussines plann yang mampu menarik lembaga keuangan untuk mendukung permodalan dalam rangka pengembangan usaha.
Berdasarkan SKB LKM, selain bentuk hukum BPR, Koperasi atau BUMDes dapat diarahkan kepada suatu lembaga keuangan lainnya. Bentuk hukum bagi LKM bukan bank dan bukan koperasi dapat diarahkan kepada suatu bentuk hukum perkumpulan.
Perkumpulan dalam hal ini memiliki pengertian luas, yang berarti  meliputi suatu persekutuan dan perkumpulan saling menanggung.  Selanjutnya perkumpulan dalam pengertian ini pun terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu berbentuk badan hukum dan tidak berbentuk badan hukum.
Perkumpulan dalam LKM ini akan diarahkan kepada perkumpulan yang berbentuk badan hukum. Perkumpulan yang tidak berbadan hukum memiliki kelebihan, yaitu mudah dalam proses pendiriannya. Namun, salah satu kelemahannya adalah sebagaimana disebutkan dalam Staatsblad 1933-84 Pasal 11 point 8: ”perkumpulan yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata”, yang berarti, jika akan dibuat suatu perjanjian antara pihak ketiga dengan perkumpulan yang dimaksud, haruslah dilakukan oleh orang-orang yang bergabung dalam perkumpulan tersebut. Perjanjian tersebut baru mengikat perkumpulan dimaksud, jika seluruh anggotanya menandatangani perjanjian dimaksud atau seluruhnya memberikan kuasa kepada 1 (satu) orang anggotanya untuk membuat dan menandatangani perjanjian termaksud.
Perkumpulan yang berbadan hukum diatur dalam Pasal 1 Staatsblad 1870 No. 64 (berdasarkan Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870), yaitu perkumpulan yang akta pendiriannya disahkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal (pada waktu itu Directeur van Justitie, sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia).
Anggaran dasar Perkumpulan yang berbadan hukum belum memiliki ketentuan baku yang mengatur. Namun, karena harus melalui proses pengesahan dari Menteri, maka tentu saja harus melalui proses yang hampir mirip dengan pendirian yayasan. Bisa dikatakan serupa tapi tak sama, karena dari sisi prosesnya memang hampir sama, juga untuk anggaran dasarnya harus mencantumkan ketentuan mengenai jangka waktu, modal yang dipisahkan, maksud dan tujuan, organ Perkumpulan yang terdiri dari pendiri, pembina, pengurus dan pengawas.
Perkumpulan yang berbadan hukum memiliki kelebihan yaitu dapat melakukan perbuatan perdata, sebagaimana halnya badan hukum lainnya dan dapat memiliki asset tetap (tanah dan/atau bangunan). Sedangkan kelemahannya antara lain belum terdapat format baku dan Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai tata cara pengesahan (juklak) Perkumpulan, dan prosesnya masih manual, maka dalam prakteknya untuk proses pengesahannya membutuhkan waktu yang lama. Jika sudah mendapatkan pengesahan dari Menteri, maka perkumpulan yang berbadan hukum juga harus diumumkan dalam Berita Negara RI. Sedangkan untuk kegiatannya, jika perkumpulan bergerak di bidang sosial, harus didaftarkan ke Dinas Sosial.
Bentuk hukum selanjutnya yaitu perusahaan daerah. Dengan adanya otonomi daerah telah memberikan nuansa baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan sistem otonomi, daerah memiliki keleluasaan mengatur dirinya sendiri. Tapi di sisi lain, daerah juga dituntut lebih mandiri, termasuk membiayai seluruh kegiatannya.[18]. Ciri utama yang menunjukan kemampuan daerah otonom dalam menyelenggarakan otonomi daerahnya adalah terletak pada keuangan daerah. Dengan demikian daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin dikurangi sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi bagian sumber keuangan utama yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat dasar dalam sistem pemerintahan negara[19].
Konsekuensi dari penerapan otonomi daerah adalah daerah harus mampu memanfaatkan hasil-hasil pembangunan agar dapat berfungsi sebagai daerah otonom yang mandiri dan mampu menjadi partner Pemerintah Pusat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang keuangan berdasarkan pada asas demokrasi dan kedaulatan rakyat, tanpa mengganggu stabilitas nasional dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[20]
Salah satu bentuk kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang keuangan adalah memanfaatkan potensi daerah dengan membentuk perusahaan daerah. Tujuan dari Perusahaan Daerah tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan saja tetapi juga mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu kesejahteraan rakyat melalui fungsi-fungsi sosial yaitu : pelayanan, pemberdayaan, pengembangan serta bantuan manajemen usaha bagi masyarakat luas. Hukum positif yang mengatur perusahaan daerah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-Undang 37 Tahun 1969 menyebutkan bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai dibentuknya undang-undang baru yang mengatur mengenai perusahaan daerah. Pada kenyataannya sampai sekarang belum dibentuk undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962. Kondisi ini menimbulkan permasalahan legalitas bagi pengelolaan perusahaan daerah karena dasar hukum yang sekarang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat.
Tujuan dibentuknya perusahaan daerah tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggaraan kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini diantaranya mengenai sifat, tujuan dan lapangan usaha perusahaan daerah, pengawasan perusahaan daerah , dan kepemilikan perusahaan daerah.
Berdasarkan konsep di atas maka LKM bukan bank akan diarahkan kepada salah satu bentuk badan hukum Indonesia meliputi:
a.     perkumpulan;
b.     koperasi;
c.      perseroan terbatas;
d.     perusahaan daerah; atau
e.     badan usaha milik desa.
Pembentukan masing-masing badan hukum Indonesia harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. LKM yang berbadan hukum perkumpulan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini. LKM yang berbentuk badan hukum perkumpulan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. Pembentukan LKM yang berbadan hukum perkumpulan dilakukan dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar. Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya:
a.     daftar nama pendiri;
b.     susunan kepengurusan;
c.      nama dan tempat kedudukan;
d.     maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
e.     ketentuan mengenai cakupan wilayah;
f.       ketentuan mengenai pengelolaan;
g.     ketentuan mengenai permodalan;
h.     ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya; dan
i.       ketentuan mengenai sanksi.
LKM yang berbadan hukum perkumpulan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh bupati/walikota. LKM berkedudukan di kabupaten/kota dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pendirian
Pendirian LKM harus memenuhi persyaratan yaitu berbadan hukum Indonesia, memiliki modal awal paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dan mendapatkan izin usaha dari bupati/walikota.

3.    Permodalan
Permodalan LKM dapat berasal dari modal sendiri, simpanan, Pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa/kelurahan, pinjaman, dan/atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.

4.    Kepemilikan
LKM hanya dapat dimiliki oleh
a.     warga negara Indonesia.
b.     perkumpulan yang didirikan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan bersama;
c.      badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia,
d.     pemerintah daerah kabupaten/kota; atau
e.     masyarakat desa atau pemerintah desa/kelurahan.
Setiap orang hanya mendapatkan kepemilikan mayoritas untuk 1 (satu) LKM baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan mengenai persyaratan yang wajib dipenuhi pihak‑pihak, perubahan kepemilikan, dan perubahan modal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

5.    Perizinan
Sebelum menjalankan kegiatan usahanya, LKM harus memiliki izin usaha dari bupati/walikota sesuai dengan cakupan wilayah. Untuk memperoleh izin usaha, LKM harus mengajukan permohonan kepada bupati/walikota setelah memenuhi persyaratan:
a.     memiliki akta pendirian bagi masing-masing badan hukum Indonesia;
b.     memiliki modal disetor minimum yang bukan berasal dari pinjaman.
 Bupati/walikota harus memberikan izin usaha kepada LKM yang telah memenuhi persyaratan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila bupati/walikota tidak menjawab permohonan izin usaha melebihi batas waktu, bupati/walikota dianggap menyetujui permohonan dimaksud. Dalam hal permohonan izin usaha ditolak, bupati/walikota harus memberikan jawaban tertulis yang memuat alasan-alasan penolakan kepada pemohon. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.


D.   Kegiatan Usaha Dan Cakupan Wilayah Usaha
Kegiatan usaha LKM pada dasarnya meliputi kegiatan pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada perorangan, kelompok atau anggotanya yang menjalankan usaha mikro dan menerima simpanan. LKM dapat pula melakukan usaha jasa keuangan lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. kegiatan yang dilarang dilakukan oleh LKM yakni:
a.  menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
b.  melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c.   melakukan usaha perasuransian sebagai  penanggung;
d.  bertindak sebagai penjamin;
e.  menempatkan dana dalam bentuk Simpanan pada LKM lain; dan
f.    memberi pinjaman kepada LKM lain
   Dalam melaksanakan kegiatan pinjaman dan pembiayaan, LKM wajib melakukan pendampingan yang tata cara pendampingannya diatur dalam Peraturan Menteri. Adapun penentuan besarnya pinjaman atau pembiayaan ditentukan berdasarkan kebutuhan dan skala usaha dari penerima dana. adanya pembatasan besarnya pinjaman atau pembiayaan untuk menghindari LKM meminjam diluar kebutuhan dan skala usahanya. kebutuhan dan skala usaha ini dengan mempertimbangan kondisi usaha dari penerima dana dengan criteria antara lain usaha pemula atau perintis, usaha pengembangan dan usaha yang mandiri. besaran nominal pembatasan pinjaman dan pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri.
   LKM dalam menjalankan kegiatan usahanya, dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip keuangan konvensional atau prinsip keuangan syariah. LKM hanya dapat memilih salah satu prinsip tersebut. Hal ini berarti satu LKM tidak dapat melakukan kegiatan usaha dengan dua prinsip sekaligus. Adapun LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip keuangan syariah wajib mematuhi prinsip syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
LKM hanya dapat melakukan kegiatan usaha dalam cakupan wilayah usaha sesuai dengan izin usahanya. Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah kabupaten/kota. Sedangkan operasional usaha LKM berada di desa/kelurahan dalam wilayah kabupaten/kota tersebut. Hal ini dimaksudkan  agar kegiatan usaha LKM dilakukan di akar rumput (grass root) di masyarakat. Adapun Ketentuan mengenai standar minimum pengelolaan usaha LKM yang antara lain didasarkan pada skala usaha, total simpanan yang dihimpun dan total pinjaman yang diberikan, diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini menjadi dasar bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menetapkan kebijakan sesuai kondisi masing-masing daerah.
Terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah serta adanya LKM yang mengubah wilayah usahanya, LKM harus menjamin kesesuaian cakupan wilayah usaha selambat-lambatnya satu tahun sejak tanggal penetapan pemekaran atau penggabungan. Sedangkan LKM yang mengubah cakupan wilayah usahanya harus memberikan pemberitahuan kepada bupati/Walikota di wilayah yang lama dan melaporkan kepada bupati/walikota di wilayah yang baru.

E.   Penjaminan Simpanan  dan Pinjaman
Dalam rangka kepentingan nasabah, LKM dapat mengikuti program penjaminan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penjamin simpanan; melakukan mekanisme penjaminan sendiri sesama LKM;  atau mekanisme lain yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai tata cara penjaminan simpanan bagi LKM diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan untuk penjaminan atas pinjaman atau pembiayaan yang diberikan, LKM dapat melakukan penjaminan terhadap pinjaman atau pembiayaan yang diberikan kepada  suatu lembaga penjamin pinjaman atau pembiayaan misalnya Askrindo, Jamkrindo, LPKD, atau Pegadaian. Dalam RUU ini juga diatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota berkewajiban memberikan subsidi premi bagi LKM yang mengikuti suatu program atau mekanisme penjaminan simpanan dan penjaminan pinjaman atau pembiayaan. Terkait dengan belum adanya suatu lembaga atau wadah yang memberikan penjaminan simpanan bagi LKM, pemerintah diupayakan melakukan suatu penjaminan baik dengan membentuk lembaga  penjamin, atau menunjuk BUMN/BUMD untuk melakukan penjaminan simpanan.

F.    Kepengurusan Dan Pertukaran Informasi
Pengaturan mengenai kepengurusan dalam Lembaga Keuangan Mikro disesuaikan dengan bentuk badan hukum yang dipilih untuk menjadi LKM, dimana ketentuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Susunan kepengurusan dalam LKM sekurang-kurangnya meliputi pengawas internal, ketua, sekretaris, dan bendahara.
Dalam kepengurusan LKM, pengurus LKM dapat melakukan tukar menukar informasi antar LKM. Pengurus LKM dapat memberitahukan informasi dan data mengenai penerima kepada LKM lain. Tujuan dari pertukaran informasi ini untuk memajukan LKM.
Terkait dengan pemberian informasi, dalam hal penerima telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai setiap transaksi antara Nasabah dengan LKM.

G. Penggabungan, Peleburan, Dan Pembubaran
Dalam rangka optimalisasi kinerja LKM, LKM dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan satu atau lebih LKM lainnya dengan persetujuan bupati/walikota yang memberikan ijin usaha. Penggabungan  dapat dilakukan dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu LKM dan membubarkan LKM lainnya. Sedangkan Peleburan dapat dilakukan dengan cara mendirikan LKM baru dan membubarkan LKM lainnya. LKM hasil peleburan atau penggabungan harus menyesuaikan cakupan wilayah usahanya dengan melakukan perubahan anggaran dasar.
LKM dapat dibubarkan karena beberapa hal, yaitu:
a.    LKM yang dimaksud membubarkan diri atas persetujuan para pendirinya;
b.    bupati/walikota mencabut izin usaha LKM;
c.    instansi yang berwenang menyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
d.    tercapainya tujuan atau berakhirnya jangka waktu kegiatan usaha sesuai dengan anggaran dasar.
Pihak yang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan seluruh simpanan yang telah dihimpun dalam hal terjadi pembubaran, adalah:
a. pengurus dalam hal LKM berbadan hukum perkumpulan;
b. seluruh pemegang saham pengendali dan direksi atau pihak yang disamakan dengan itu dalam hal LKM berbadan hukum perseroan terbatas, koperasi, perusahaan daerah, atau badan usaha milik desa.

H.   Pembinaan dan Kerjasama
Pengaturan mengenai pembinaan dalam RUU tentang LKM menjadi wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjalankan program yang berhubungan dengan kegiatan keuangan mikro mempunyai kewajiban untuk mengoptimalkan fungsi LKM dengan memperhatikan segala aspek keberlangsungan dan persaingan yang sehat LKM itu sendiri.
Pemerintah Daerah juga diwajib menyediakan bantuan teknis dalam rangka pembinaan dan pengembangan LKM. Bantuan teknis tersebut meliputi antara lain  tenaga penyuluh, pendidikan dan pelatihan tentang keuangan mikro, penyediaan database LKM, dan lain-lain. LKM juga dapat melakukan kerjasama antar LKM maupun dengan lembaga keuangan lain dalam rangka meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan memperluas jangkauan pelayanan.


I.      Pengawasan
Pengawasan LKM dilakukan oleh Bupati / Walikota. Bupati / Walikota mendelegasikan wewenang pengawasan kepada pejabat yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan. Pengawasan terhadap LKM dilakukan setiap saat atau secara berkala.
Untuk tertib pembukuan atau pencatatan LKM harus melakukan dan memelihara pencatatan/pembukuan atas segala aktivitas kegiatan usahanya sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Dalam melakukan dan memelihara pencatatan/pembukuan sebagaimana tersebut, Pengurus LKM dilarang:
a.     Membuat pencatatan palsu dalam pembukuan transaksi atau laporan dan atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
b.     Menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening LKM;
c.      Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi.
Setiap LKM Desa/kelurahan dan LKM Kecamatan harus menyampaikan laporan keuangan kepada Bupati/Walikota. melakukan pengawasan pada stratifikasi terkait sekurang-kurangnya sekali dalam kurun waktu enam bulan.
Dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan, LKM harus mengumumkan Laporan Keuangannya kepada masyarakat. Menteri menetapkan standar minimum tatacara pengawasan, bentuk laporan, mekanisme penyampaian laporan serta mekanisme pengumuman Laporan Keuangan yang menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk merumuskan ketentuan lebih rinci sesuai kondisi masing-masing daerah.

J.    Sanksi Administratif
   Sebagai instrumen penting dalam penegakan suatu aturan maka pemberian sanksi perlu diatur dalam RUU. Dalam RUU tentang LKM, sanksi dapat diberikan baik terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh LKM sebagai badan hukum (recht person) maupun oleh orang perorangan sebagai subyek hukum. Terhadap  LKM dapat dikenakan sanksi administratif yang dapat berupa: teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan ijin dan/atau denda administratif, yang akan dikenakan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan akan diatur lebih lanjut mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif tersebut dalam Peraturan Pemerintah. Diantara perbuatan hukum yang dapat dikenai sanksi administratif tersebut adalah mencakup :
a.      Kepemilikan LKM yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia, perkumpulan yang didirikan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan bersama, badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, pemerintah daerah kabupaten/kota, atau masyarakat desa atau pemerintah desa/kelurahan.
b.      LKM yang tidak melakukan kegiatan usaha pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada perorangan, kelompok, atau anggotanya yang menjalankan usaha mikro, menerima simpanan, dan melakukan usaha jasa keuangan lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang.
c.      LKM yang tidak melakukan pendampingan kepada perorangan, kelompok, atau anggotanya yang menjalankan usaha mikro.
d.      LKM yang menjalankan 2 (dua) prinsip keuangan sekaligus yaitu prinsip keuangan konvensional dan prinsip keuangan syariah.
e.      LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip keuangan syariah yang tidak mematuhi prinsip syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
f.       LKM yang melanggar larangan:
1)     menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
2)     melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
3)     melakukan usaha perasuransian sebagai  penanggung;
4)     bertindak sebagai penjamin;
5)     menempatkan dana dalam bentuk Simpanan pada LKM lain;
6)     memberi pinjaman kepada LKM lain.
g.      LKM yang melakukan kegiatan usaha dalam cakupan wilayah usaha tidak sesuai dengan izin usahanya.
h.     LKM yang mengubah cakupan wilayah usahanya tidak memberikan pemberitahuan kepada bupati/walikota di wilayah yang lama dan melaporkan kepada bupati/walikota di wilayah yang baru.
i.       LKM yang tidak melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan perusahaan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
j.        LKM yang tidak menyampaikan laporan keuangan kepada bupati/walikota sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu ) tahun.
k.      LKM yang tidak mengumumkan laporan keuangannya kepada masyarakat.

K.   Ketentuan Pidana
Kepada orang perorangan sebagai subyek hukum dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau kurungan dan/atau denda apabila kedapatan melakukan pelanggaran dalam hal diantaranya:
a.  Setiap orang yang melanggar ketentuan hanya 1 orang mendapatkan kepemilikan mayoritas untuk 1 (satu) LKM baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00(sepuluh juta rupiah).
b.  Setiap orang yang menjalankan usaha LKM tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c.  Setiap orang yang tidak bertanggung jawab mengembalikan seluruh dana simpanan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
d.  Setiap pengurus dan/atau pegawai LKM yang melanggar ketentuan antara lain berupa:
1)    membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
2)    menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan keuangan, atau rekening LKM; dan
3)    mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha.
dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.00,00.(lima puluh juta rupiah)

L.    Ketentuan Peralihan
Dalam  ketentuan peralihan ini diatur mengenai penyesuaian-penyesuaian status dan perbutatan hokum dari pelaku-pelaku LKM yang selama ini telah dan masih menjalankan aktivitasnya untuk memberi kesempatan bagi langkah-langkah persiapan dan penataan kembali sesuai dengan RUU ini, dengan ketentuan “setiap orang yang melakukan kegiatan usaha sebagai LKM yang tidak berbentuk bank dan belum memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dapat tetap beroperasi dengan ketentuan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.

M. Ketentuan Penutup
Ketentuan ini memuat mengenai status peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan beserta alternatifnya.
Disamping itu juga mengatur mengenai jangka waktu pembentukan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah untuk menjalankan Undang-Undang mengenai Lembaga Keuangan Mikro, sehingga pada akhirnya dapat berguna untuk memperlancar pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

BAB VI
PENUTUP

Dengan dibentuknya Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro akan melengkapi kerangka hukum yang mengatur mengenai lembaga keuangan di Indonesia. Undang-Undang ini dapat menjadi landasan untuk mewujudkan sistem keuangan mikro yang menjamin berkembangnya usaha skala mikro yang sustainable, dapat mensejahterakan rakyat, bermanfaat dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Undang-Undang ini juga akan meningkatkan pengawasan yang efektif terhadap Lembaga Keuangan Mikro sehingga dapat melindungi kepentingan penyimpan dan penerima pinjaman/pembiayaan.

Jakarta, Oktober 2010

DAFTAR PUSTAKA

Baasir, Faisal (2003), Optimalisasi Regulasi Kerangka Kerja Bagi Keuangan Mikro. Gema PKM.

BI and GTZ ProFI (2000), Legislation, Regulation, and Supervision of Micro Institutions in Indonesia.

CGAP. Guiding Principles On Regulation and Supervision of Microfinance. CGAP.

Fatwa, A.M., Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa,(Jakarta: Yarsif Watampone, 2003).

Helms, Brigit (2006). Access for All: Building Inclusive Financial Systems, CGAP.

Holloh, Detlev and Prins, Hendriks. Regulation, Supervision & Support of Non-Bank,  Non Cooperative Micro-Finance Institution. ProfI-GTZ.

Holloh, Deltev. Microfinance Institution Study, Bank Indonesia, GTZ, dan  
        Departemen Keuangan.

Ismawan, Bambang (2003), Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan  dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Gema PKM.


Ismawan, Bambang dan Setyo Budiantoro, Keuangan Mikro Sebuah Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, (Jakarta: Gema PKM Indonesia, 2005).

 JBIC (2003). JBIC & Microfinance: An Innovatie Financing Instrument to Support  
         Sustainability in the Industry and Greater Outreach to Poor & Low-Income Families. JBIC.

Ledgerwood, Joana (1999), Microfinance Handbook. The World Bank –            Washington.

Martowijoyo, Sumantoro (2002), Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Jurnal Ekonomi Kerakyatan.

Nasution, Darmin (2003), Pointers Mengenai Kerangka Pengaturan Bagi Keuangan Mikro. Gema PKM.

Profi-GTZ (2005). Background Paper on Microfinance Policy and Strategy.          ProFIGTZ.

Republika, ed. 1 Maret 2006, 6 April 2006.

Rudjito (2003), Peranan Lemabaga Keuangan Mikro Dalam Menggerakan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan. Gema PKM.

Rudjito, Peran lembaga keuangan mikro dalam otonomi daerah guna menggerakkan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan studi kasus: Bank Rakyat Indonesia, dalam http://www.indonesiaindonesia.com/f/8667-peran-lembaga-keuangan-mikro/, diakses tanggal 30 Agustus 2010.

Staschen, Stefan (1999), Regulation and Supervision of Microfinance Institutions:
           State of Knowledge. GTZ.




[1]Lihat Rudjito, Peran lembaga keuangan mikro dalam otonomi daerah guna menggerakkan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan studi kasus: Bank Rakyat Indonesia, dalam http://www.indonesiaindonesia.com/f/8667-peran-lembaga-keuangan-mikro/, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
[2] Ibid.
[4] Lihat Empirical, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Empirical, diakses tanggal 17 September 2010.
[5]  Sumber : GTZ ProF1, 2005.
[6] Sumber : Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK, 2005)
[7] Sumantoro Martowijoyo (2002)
[8] Berdasarkan PBI Nomor 6/22/PBI/2004, modal disetor BPR: a) untuk wilayah Jakarta sebesar Rp. 5 miliar; b) untuk ibukota propinsi di Jawa dan Bali, serta Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi sebesar Rp. 2 miliar; c) untuk ibukota propinsi diluar Jawa dan Bali, serta di wilayah Jawa dan Bali selain yang disebut pada point b, sebesar Rp. 1 miliar; dan d) untuk wilayah diluar daerah tersebut pada a, b, dan c sebesar Rp. 500 juta.



[9] Republika, 1 Maret 2006 dan 6 April 2006
[10] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, Keuangan Mikro Sebuah Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, (Jakarta: Gema PKM Indonesia, 2005), hal. 23.

[11] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit., hal. 103.
[12] Ibid, hal. 104.

[13] Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Pemerintah Kota Malang dan Kota Semarang, Dalam Rangka Penyusunan Kajian Pembentukan RUU Lembaga Keuangan Mikro, 8-12 Maret 2010.
[14] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit., hal. 24-29.
[15] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit., hal. 104.

[16] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit., hal. 107.

[17] Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Pemerintah Kota Madang dan  Kota Semarang, Dalam Rangka Penyusunan Kajian Pembentukan RUU Lembaga Keuangan Mikro, 8-12 Maret 2010.

   [18] Ada beberapa cara yang sering ditempuh Pemda untuk memperbesar pundi-pundi keuangannya. Pertama, berusaha menarik investor untuk menanamkan investasinya, Kedua, menyusun Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar legitimasi untuk menarik berbagai iuran sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat. Terakhir, membenahi dan membentuk perusahaan daerah yang sering dikenal dengan BUMD.

[19] A.M. Fatwa, Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa,(Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hal.4.

[20] Ibid.