BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sektor keuangan di
Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan yang sangat penting
dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional dan ekonomi masyarakat. Kegiatan sektor keuangan
hampir seluruhnya bersifat jasa (keuangan), baik jasa perbankan maupun jasa
non-perbankan. Perkembangan dan kemajuan pada sektor keuangan, baik perbankan
maupun non-perbankan menuntut adanya perbaikan yang terus-menerus, baik dari
aspek kelembagaan organisasi, regulasi (kebijakan), maupun sumber daya manusia
(SDM).
Peran dan
tanggungjawab pemerintah dalam sektor keuangan sampai saat ini masih
dibutuhkan. Namun, partisipasi masyarakat khususnya pihak swasta sangat
diharapkan untuk mendorong perkembangan dan kemajuan di sektor keuangan di
Indonesia, termasuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan perbankan maupun
non-perbankan. Pemerintah harus terus mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
dan berperan aktif dalam kegiatan di sektor keuangan.
Diakui bahwa
perbankan sebagai lembaga keuangan sampai saat ini telah menunjukkan suatu
kemajuan yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan ekonomi daerah yang
terbukti dari pesatnya pertumbuhan lembaga perbankan (bank) di berbagai daerah
di Indonesia, baik di kota maupun di kabupaten. Oleh karena itu adalah wajar
apabila sektor perbankan menjadi sangat dominan dalam kegiatan usaha jasa
keuangan di Indonesia sampai saat ini.
Keadaan perbankan di Indonesia tidak jauh
berbeda dari perbankan di banyak negara di dunia, yaitu belum begitu banyak
yang melayani kebutuhan kredit atau dana pinjaman pengusaha-pengusaha skala
kecil dan skala mikro. Bank-bank di Indonesia, baik milik Pemerintah (Bank
BUMN) maupun bank swasta nasional apalagi bank swasta asing, pada umumnya
tidaklah dimaksudkan untuk melayani perusahaan-perusahaan kecil khususnya
perusahaan mikro. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program-program
pendidikan, manajemen, sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanan, serta
falsafah perusahaan perbankan lebih diarahkan untuk melayani orang-orang yang
sudah mapan dan berada (perusahaan besar dan menengah). Dengan demikian dapat
diduga bahwa perbankan di Indonesia belum berperan dalam pemerataan kesempatan
berusaha dan pemerataan pendapatan bagi pengusaha kecil dan mikro.
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada
usaha kearah pemerataan pendapatan bagi pengusaha kecil dan mikro di atas. Bank
Sentral (Bank Indonesia) telah merintis kearah itu melalui berbagai kredit
program, seperti Kredit Bimas, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), Kredit Keppres 14A, KIK/KMKP sampai dengan Rp. 75 juta, Kredit
Keppres 29, Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit
Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Kredit Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI), Kredit
Pencetakan Sawah, Kredit Profesi Guru (KPG), Kredit Mahasiswa (KMI), Kredit
Asrama Mahasiswa, Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dan lain-lain. Kredit-kredit program yang tidak mementingkan jaminan
dalam pemberian kredit tersebut disalurkan.
Selain sektor perbankan, penyelenggaraan jasa keuangan juga dilakukan oleh
lembaga keuangan lain yang bukan bank, seperti lembaga pembiayaan (leasing), koperasi, pegadaian, dan
perusahaan asuransi. Peran lembaga keuangan bukan bank tersebut--dalam
perkembangannya--belum optimal dan belum maksimal dalam mendorong peningkatan
kesejahteraan rakyat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang sebagian besar
merupakan pengusaha kecil dan mikro. Padahal lembaga keuangan bukan bank
tersebut sudah diatur secara jelas dalam bentuk undang-undang.
Berangkat dari kenyataan dan perkembangan di dalam masyarakat saat ini,
maka pembentukan satu lembaga keuangan yang menyediakan dana atau modal bagi
usaha skala mikro dan usaha skala kecil sangatlah penting dan urgent. Lembaga keuangan skala mikro ini
memang hanya difokuskan kepada usaha-usaha masyarakat baik di perkotaan maupun
di pedesaan yang bersifat mikro. Sebenarnya di daerah pedesaan sudah ada suatu
lembaga keuangan yang berskala mikro, seperti badan kredit desa (BKD), unit
simpan-pinjam, lembaga kredit pedesaan. Berbeda dengan lembaga koperasi yang
sudah ada di perkotaan dan di pedesaan, seperti KUD (Koperasi Unit Desa).
Badan Kredit Desa dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah berdirinya
Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Diawali dengan berdirinya Lumbung Desa
(LD) pada tahun 1897 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat. Lumbung Desa dan Bank
Desa kemudian dikenal dengan nama Badan Kredit Desa (BKD), yang merupakan cikal
bakal berdirinya Lembaga Perkreditan Kecil di Pedesaan atau sekarang lebih dikenal
dengan istilah Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga ini banyak digunakan sebagai
bahan studi banding oleh negara lain dalam mengembangkan keuangan mikro di
negara masing-masing.
Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit Desa) sampai saat ini masih melaksanakan
tugas sebagai pendamping atau sebagai pembina dan pengawas BKD, mulai dari
bagaimana cara menilai calon peminjam, jenis cicilan pinjaman yang cocok untuk
calon anggota, besarnya pinjaman anggota, mengadministrasikan usaha simpan
pinjam, pengelolaan uang Kas, memberikan bantuan modal kerja, mengatur cara
penggajian para Juru Tata Usaha (JTU) dan Komisi BKD, mendidik JTU dan Komisi
BKD dan sebagainya. Semua kegiatan pendampingan tersebut di atas dimaksudkan
agar BKD mampu membiayai sendiri usahanya, dapat memupuk permodalan dan dapat
membantu masyarakat pedesaan anggota BKD dalam meningkatkan usahanya maupun
meningkatkan penghasilannya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di
pedesaan.[1]
Melihat keberhasillan BKD inilah, kemudian disusul berdirinya LKM lainnya
baik yang didirikan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Kelompok Masyarakat di
pedesaan, seperti Lumbung Pitih Nagari di Sumatera, Lembaga Perkreditan Desa di
Bali, Bank Pasar, Koperasi Simpan Pinjam, dan sebagainya. Per Oktober 2002
terdapat 4.518 Bank Kredit Desa yang tersebar di berbagai pelosok desa di
Jawa-Madura serta melayani sekitar 700.000 orang. Syarat dan prosedur pelayanan
di BKD relatif mudah dan cepat. Nasabah BKD adalah perorangan yang berdomisili
di desa bersangkutan. Rata-rata besar pinjaman biasanya dibawah Rp. 700.000.
Jumlah angsuran umumnya adalah mingguan.[2]
Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan
keuangan perbankan, khususnya bank umum. Tetapi pengaturan dari aspek hukumnya
belumlah jelas. Berbeda dengan pengaturan lembaga perbankan melalui UU Perbankan, lembaga koperasi melalui UU Perkoperasian,
dan lembaga asuransi melalui UU Perasuransian.
B. Identifikasi Masalah
Perkembangan lembaga keuangan mikro di Indonesia umumnya
didahului oleh pendirian bank yang khusus ditujukan untuk rakyat kecil yang
disebut dengan Bank Priyayi atau Bank Pegawai (1875). Bank rakyat ini kemudian
mengidentikkan dirinya menjadi sebuah ‘bank perkreditan rakyat’. Setelah
Indonesia merdeka tahun 1945, perkembangan lembaga perbankan yang berorientasi
pada usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) lebih banyak diperankan oleh
Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit Desa).
Yang menjadi persoalan selama ini adalah tidak semua usaha
kecil, usaha koperasi dan usaha mikro yang mendapat fasilitas dana pinjaman
atau kredit usaha dari BRI Unit Desa tersebut. Sampai saat inipun, BRI Unit
Desa masih membantu sebagian usaha kecil, koperasi dan usaha mikro di
Indonesia. Sebagaimana diketahui, sistem dan manajemen yang diterapkan oleh BRI
Unit Desa adalah berdasarkan sistem dan menejemen perbankan yang tunduk pada
undang-undang perbankan dan peraturan Bank Indonesia (BI). Demikian juga dengan
berdirinya BPR di berbagai daerah belum menyentuh seluruh usaha kecil, koperasi
dan usaha mikro. Akses usaha kecil, koperasi dan usaha mikro terhadap lembaga
perbankan, termasuk BRI Unit Desa dan BPR masih belum maksimal, karena BRI Unit
Desa dan BPR adalah sama-sama lembaga perbankan yang menerapkan sistem dan
manajemen bank yang cenderung menyulitkan usaha kecil, koperasi dan usaha mikro
untuk berkembang, seperti dengan keharusan menyerahkan agunan untuk mendapatkan
kredit.
Lahirnya Badan Kredit Desa (1897) merupakan cikal bakal dan
menjadi sejarah lahirnya lembaga keuangan mikro yang berorientasi membantu
masyarakat kecil dan miskin di daerah pedesaan. Badan ini dapat dikatakan bukan
berbentuk bank dan bukan berbentuk koperasi. Keberadaan LKM menjadi sangat urgent karena belum termasuk dalam
ketiga kelompok lembaga keuangan tersebut di atas (perbankan, koperasi dan
asuransi). Tetapi yang menjadi perhatian ke depan adalah bahwa setiap usaha
penghimpunan dana dari masyararakat, termasuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah harus dapat memberikan jaminan atas keamanan (perlindungan) terhadap
dana simpanan tersebut. Bentuk perlindungan dimaksud haruslah dijamin dalam
suatu peraturan hukum sehingga akan memberikan kepastian hukum apabila terjadi
suatu perselisihan yang menyangkut dana simpanan dan dana pembiayaan usaha
masyarakat.
Untuk memberdayakan LKM ke depan diperlukan langkah yang
harus dilakukan pemerintah untuk mengawasi dan membina LKM guna meningkatkan
kemampuan LKM dalam melayani masyarakat miskin dan pelaku usaha kecil dan
mikro. Langkah yang harus ditempuh pemerintah antara lain adalah:
Pertama, memperkuat
kelembagaan LKM. Pemerintah hendaknya memiliki ’blue print’ LKM sebagai desain yang
terstruktur untuk mengembangkan dan memperkuat LKM. Pemerintah juga harus
memberikan pelatihan manajemen kepada para pengelola LKM. LKM kedepannya harus
diarahkan sebagai lembaga keuangan khusus bagi rakyat kecil di pedesaan. LKM
yang telah kuat akan bisa mengandalkan penerimaannya dari sumber-sumber pihak
ketiga yang mayoritas individual. Karena itu pemerintah harus membuat kebijakan
yang memberikan rasa aman bagi masyarakat yang ingin menaruh dananya di LKM.
Kedua, pemerintah juga sudah harus mempersiapkan
instansi/lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah yang secara khusus
membina dan mengawasi kegiatan operasional LKM di Indonesia, agar tumbuh sehat
dan normal.
Ketiga, fokus pengembangan usaha kecil dan mikro di daerah
pedesaan. LKM adalah lembaga yang mempunyai peran besar dalam menumbuhkan
pengusaha-pengusaha kecil dan mikro di tingkat desa dan kecamatan. LKM harus
fokus membantu masyarakat kecil dan miskin di pedesaan untuk meningkatkan
produktivitasnya yang pada akhirnya dapat membantu pemerintah mengurangi
kemiskinan, khususnya di daerah pedesaan.
Dari penjelasan dan uraian di atas, ada
beberapa permasalahan pokok yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan
lembaga keuangan mikro, antara lain:
1. LKM harus memiliki suatu bentuk hukum
yang jelas, sehingga akan menjamin adanya accountability
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
2. LKM harus memiliki ijin usaha atau ijin
operasional dari lembaga atau instansi pemerintah (pemda) yang berwenang untuk
itu.
3. Lembaga/instansi pemerintah (pemda)
pemberi ijin usaha atau ijin operasional LKM harus membina dan mengawasi
kegiatan LKM, agar LKM dapat tumbuh sehat dan wajar.
4. LKM sebaiknya tidak memiliki cabang
perusahaan dan tidak boleh memiliki diversifikasi usaha selain usaha jasa
keuangan. Tujuannya adalah agar LKM lebih fokus dalam kegiatan usaha jasa
keuangan mikro bagi masyarakat di pedesaan.
5. Sistem manajemen usaha LKM tidak boleh
menyerupai sistem manajemen usaha di lembaga perbankan. Tujuannya agar LKM
dapat berdiri dan berkembang dengan karakteristik sendiri yang berbeda dengan
bank, sebab LKM bukanlah bank perkreditan rakyat.
6. Perlu adanya suatu sistem pendampingan.
Hal ini dimaksudkan untuk dapat membantu kepada masyarakat yang memperoleh
pinjaman/pembiayaan dari LKM untuk meningkatkan usahanya.
7. Perlu ada suatu kepastian mengenai
batasan jumlah modal (aset) usaha LKM pada saat pendiriannya. Hal ini penting
untuk menjelaskan posisi LKM diantara lembaga keuangan yang ada saat ini.
8. Perlu ada kepastian mengenai batasan
jumlah dana simpanan yang dapat dihimpun oleh LKM dari masyarakat.
9. Perlu ada kepastian mengenai jumlah
maksimum dana pembiayaan usaha yang diberikan/disalurkan oleh LKM.
10. Perlu ada kepastian mengenai area
wilayah operasional LKM, dan cakupan kegiatan usaha dari LKM tersebut, yaitu
hanya bidang jasa keuangan yang berskala mikro/kecil.
C.
Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari
pembuatan atau penyusunan naskah akademik mengenai rancangan undang-undang
tentang lembaga keuangan mikro ini, antara lain adalah:
1. sebagai dasar pemikiran yang bersifat
filosofis, sosiologis dan yuridis untuk pembuatan suatu peraturan hukum
mengenai lembaga keuangan mikro.
2. sebagai bahan masukan bagi para pembuat
kebijakan, khususnya Anggota DPR RI dalam proses pembuatan undang-undang
mengenai lembaga keuangan mikro.
3. sebagai bahan informasi untuk melakukan
studi lebih lanjut yang berkaitan dengan lembaga keuangan mikro.
4. sebagai bahan referensi bagi publik atau
pihak yang membutuhkan suatu kajian akademik mengenai lembaga keuangan mikro.
D.
Metode Pendekatan
Dalam penyusunan naskah akademik mengenai rancangan undang-undang tentang
lembaga keuangan mikro, metode pendekatan yang dipergunakan adalah metode
pendekatan yang bersifat analisis-historis dan empiris. Yang dimaksud dengan
metode analisis-historis (historical
approach) adalah menganalisa berbagai fakta yang telah terjadi/ada di dalam
suatu masyarakat atau bangsa/negara berdasarkan fakta atau bukti sejarah
(historis) yang ada dalam masyarakat atau bangsa/negara yang bersangkutan.
Sedangkan metode pendekatan empiris (empirical approach), yaitu didasarkan pada observasi atau
pengamatan dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi dan tidak
menduga-duga. Metode ini umumnya dilakukan dengan menggunakan data atau
pengalaman yang bersifat empiris. Kaum
empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat
pengalaman (experience).[3]
Arti dari kata empirical, dapat
dijelaskan di bawah ini:
the word empirical
denotes information gained by means of observation, experience, or experiment.
A central concept in science and the scientific method is that all evidence must be empirical, or empirically based, that is, dependent on evidence or
consequences
that are observable by the senses.[4]
Metode pendekatan
empiris adalah metode analisis atau pendekatan dengan berdasarkan hasil
observasi atau pengalaman yang diperoleh sebelumnya. Dalam menjelaskan mengenai
lembaga keuangan mikro di Indonesia, bahwa pengalaman masyarakat telah
menunjukkan relatif banyaknya lembaga keuangan yang berskala mikro yang
beroperasi di Indonesia sampai saat ini, khususnya di daerah pedesaan/kecamatan.
Hal ini diperkuat dengan fakta di masyarakat tentang keberadaan lembaga
keuangan mikro yang masih eksis, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
A. Filosofis
Secara filosofis pembentukan LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan LKM, pada prinsipnya ditujukan sebagai
upaya untuk memberikan dorongan pembiayaan bagi usaha mikro.
Semangat yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, pada
prinsipnya ingin menjadikan LKM sebagai lembaga pembiayaan terhadap Usaha Mikro
yang merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan
memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan
dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain
itu, LKM ini pun diharapkan berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha
Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh
kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai
wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa
mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.
B. Sosiologis
Sejarah LKM di Indonesia dimulai dari
pendirian “Bank Priyayi Purwokerto” oleh Raden Wiriaatmadja pada tahun 1895.
Satu tahun kemudian didirikan didirikan “Poerwokertosche Hulp-Spaar en
Landbouwcredietbank” oleh kepala pemerintahan Belanda pada saat itu, Sieburgh
dan rekannya De Wolff van Westerrode. LKM tersebut lebih dikenal sebagai
Lumbung Desa, yang fungsinya adalah untuk membantu para petani yang mengalami
kegagalan panen.
Pada tahun 1905 mulai didirikan Bank Desa
dengan modal dari Lumbung Desa dengan tujuan untuk membantu permodalan
masyarakat pedesaan agar tidak terjerat para lintah darat (rentenir) dan para
pengijon. Lumbung Desa dan Bank Desa kemudian berubah nama dengan Bank Kredit
Desa (BKD). Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Pusat mengeluarkan buku pedoman
untuk mendirikan, mengatur dan mengurus serta mengawasi BKD, dan terakhir
Ordonansi BKD termuat dalam Staatsblad No. 357 tahun 1929 untuk daerah Jawa dan
Madura, Rijksblad No. 9 tahun 1937 untuk daerah Kadipaten Paku Alaman, dan
Rijksblad No. 3/H tahun 1938 untuk daerah Kasultanan. Pada tahun 1972, 1973 dan
1974 Menteri Keuangan memberikan izin usaha bagi BKD.
Keberhasilan BKD disusul dengan pendirian
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah sejak awal tahun
1970an yang dimulai dari pembentukan Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa
Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari
(LPN) di Sumatera Barat, hingga pada akhir tahun 1980an Kredit Usaha Rakyat
Kecil (KURK) di Jawa Timur. Pada awal tahun 1984 Menteri Dalam Negeri
mendesiminasikan model LDKP yang ada saat itu kepada beberapa gubernur,
hasilnya di Bali terbentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK) dan Lembaga Pembiayaan Usaha Kecil (LPUK) di Kalimantan
Selatan, BKK di Bengkulu, dan di Riau, Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa
Tenggara Barat, Badan Usrusan Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, serta
Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di Aceh.
LPD dan LPN dimiliki oleh masyarakat desa,
dan beroperasi berdasarkan hukum adat yang berlaku. Sedangkan LDKP lainnya
dimiliki, diatur dan diawasi oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian Pemerintah
Daerah banyak yang mendelegasikan kepada Bank Permerintah Daerah (BPD) untuk
melakukan supervisi dan bantuan teknis terhadap kepada LDKP.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, BKD dan LDKP serta lembaga-lembaga lainnya yang
dipersamakan diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib
menyesuaikan diri menjadi BPR. Selanjutnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 1992, lembaga-lembaga tersebut harus mengajukan izin usaha
sebagai BPR sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahu 1992
selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997. Namun hingga batas waktu tersebut,
masih banyak BKD dan LDKP yang masih belum memenuhi sebagai BPR. Selanjutnya,
berdasarkan kesepakatan dalam rangka Pengukuhan LDKP menjadi BPR antara
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam
Negeri, Direktur Bank Indonesia, dan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan,
Departemen Keuangan, dinyatakan bahwa LKDP yang tidak mengajukan permohonan
izin usaha setelah tanggal 30 Oktober 1997 dan LDKP yang telah mengajukan
permohonan izin usaha tetapi tidak memperoleh persetujuan dari Menteri
Keuangan, tetap dapat meneruskan usahanya sebagai LDKP, dan dalam status ini
dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan. (Nasution, 2003).
Sebagai alternatif layanan keuangan mikro
dengan prinsip syariah, awal tahun 1990an lahirlah Gerakan BMT yang dipelopori
oleh Yayasan PINBUK. Pada awalnya ruang lingkup BMT mencakup penerimaan zakat,
infaq dan shadaqoh, serta menyalurkannya kepada orang yang berhak. Dalam
perkembangannya, pada tahun 1995 BMT dijadikan gerakan nasional dalam rangka
pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pertumbuhan BMT yang sangat pesat, hingga
akhir tahun 2000 jumlahnya sekitar 2.938 unit. Dikarenakan pada akhirnya
sebagian besar kegiatan BMT banyak bergerak di bidang simpan pinjam dengan
prinsip syariah, maka sebagian BMT memiliki izin pendirian Koperasi. Melihat
jumlah BMT yang semakin besar dan memiliki perkembangan yang baik, maka untuk
menertibkan dan malakukan pembinaan pada tahun 2005 Pemerintah, melalui Menteri
Koperasi & UKM mengeluarkan Keputusan Menteri tentang Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Namun hingga
kini tidak semua BMT mengikuti keputusan menteri tersebut.
Selain BMT, pada awal tahun 1970an mulai
didirikan LKM yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri, yaitu Credit Union, yang
kemudian pada tahun 1980an diubah namanya menjadi Koperasi Kredit (Kopdit).
Walaupun memiliki nama Koperasi Kredit, namun tidak semua Kopdit, yang pada akhir
1999 berjumlah lebih dari 1.100 unit, memiliki izin pendirian koperasi. Selain
BMT, dan Kopdit, sesungguhnya masih ada lagi LKM yang merupakan hasil inisiatif
masyarakat, seperti Dakabalarea di Jawa Barat, serta LSM dan KSM lainnya yang
didirikan untuk memberikan pelayanan keuangan mikro.
Berbagai program pemberdayaan masyarakat yang
banyak dilakukan oleh departemen-departemen teknis, juga menghasilkan LKM baru
yang memiliki tujuan khusus. Misal, Unit Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP)
yang dibentuk untuk mendukung program pembangunan desa melalui Inpres Bantuan
Pembangunan Desa dengan Departemen Dalam Negeri sebagai departemen teknisnya.
Jumlah UED-SP hingga pada akhir 1999 kurang lebih mencapai sekitar 52 ribu.
Selain itu, Departemen Dalam Negeri masih memiliki
P2K (bekerjasama dengan Departemen Pekerjaam Umum), KUBE (bekerjasama dengan
Departemen Sosial), sedangkan Departemen Pekerjaan Umum sendiri memiliki Badan
Keswadayaan Masyarakat (KSM), BKKBN memiliki UPPKS, Departemen Kelautan dan
Perikanan memiliki LEPM3, Departemen Pertanian memiliki P4K, dan sebagainya.
Hampir seluruh LKM ini, yang didirikan berdasarkan keputusan menteri terkait,
melakukan kegiatan usaha utamanya dalam bentuk simpan pinjam.
Selanjutnya terkait hasil studi dan
pengalaman dari 31 lembaga agen bantuan pembangunan, baik yang dimiliki swasta
maupun pemerintah dari negara-negara maju, yang tergabung kedalam Consultative
Group to Assist the Poor (CGAP), menetapkan 11 prinsip keuangan mikro untuk
memperluas akses masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan. Kesebelas
prinsip adalah sebagai berikut:
1.
Masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah
tidak hanya membutuhkan pinjaman saja, tetapi juga membutuhkan jasa keuangan
lainnya, seperti jasa simpanan/tabungan, asuransi, anjak piutang, sewa guna,
dan jasa pengiriman uang.
2.
Keuangan mikro merupakan
alat yang sangat tepat untuk memerangi kemiskinan, karena masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya menggunakan jasa keuangan untuk meningkatkan pendapatannya, menambah
asetnya, dan untuk berjaga-jaga (melindungi diri) apabila terjadi suatu
kejadian tak terduga, seperti bencana alam, gagal panen, dan sebagainya.
3.
Keuangan mikro akan jauh
lebih bermanfaat secara optimal apabila terintegrasi dengan sistem keuangan
nasional.
4.
Keuangan mikro harus dapat
menghidupi diri sendiri, agar dapat menjangkau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah lebih
banyak lagi. Apabila lembaga keuangan mikro tidak mampu menghidupi sendiri
(minimal mampu menutupi seluruh biaya), maka keberadaan mereka akan sangat
terhambat, dan akan sangat tergantung dari bantuan pemerintah atau donor yang
juga sangat terbatas.
5.
Keuangan mikro mampu
membangun lembaga keuangan lokal yang berkelanjutan, dimana lembaga tersebut
dapat menghimpun dana dari masyarakat suatu wilayah tertentu dan diputarkan
kembali dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat di wilayah yang sama. Dalam
konteks Indonesia, hal ini juga akan mengurangi pelarian uang dari daerah ke
pusat, atau dari desa ke kota seperti yang terjadi selama ini. Selain itu,
prinsip ini juga sejalan dengan semangat membangun daerah dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah.
6.
Keuangan mikro bukanlah
segalanya dalam mengatasi kemiskinan, oleh karenanya dukungan program lainnya
juga diperlukan, khususnya program yang ditujukan kepada masyarakat yang sangat
miskin yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki kemampuan untuk
membayar kembali pinjamannya.
7.
Pembatasan ambang atas
terhadap tingkat suku bunga justru akan menyulitkan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk
memperoleh pinjaman dalam jangka panjang. Apabila ambang atas tingkat suku
bunga dibatasi yang menyebabkan tidak tertutupinya seluruh biaya, maka lembaga
keuangan mikro itu akan punah cepat atau lambat. Ketika lembaga keuangan mikro
banyak yang punah, maka masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah akan kembali mengalami kesulitan dalam
mengakses pinjaman.
8.
Peran pemerintah adalah
menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terselenggaranya layanan jasa
keuangan bagi masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah, dan bukan bertindak sendiri lembaga
keuangan yang menyediakan jasanya secara langsung. Dari berbagai pengalaman
menyatakan bahwa tidak pernah ada pemerintah yang berhasil mengelola pinjaman.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah cukup membuat kebijakan yang mendukung
iklim usaha.
9.
Dana dari donor seharusnya
hanya dijadikan pelengkap saja, bukan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan modal
usaha lembaga keuangan mikro. Dana dari donor sebaiknya diberikan untuk
membantu sementara pada tahapan start-up sampai pada titik tertentu, dan
ditempatkan dalam bentuk simpanan (bukan modal).
10.
Pertumbuhan dan perkembangan
keuangan mikro terhambat pada kapasitas kelembagaan dan kurangnya tenaga
profesional. Oleh karena itu, lembaga donor seharusnya fokus untuk mendukung
pengembangan kapasitas kelembagaan.
11.
Keuangan mikro akan dapat
bekerja baik apabila kinerjanya terukur dan terbuka bagi masyarakat. Lembaga
keuangan mikro perlu membuat laporan kinerja keuangan yang akurat dan mudah
dibandingkan agar meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
tersebut, serta perlunya membuat laporan kinerja sosial (misal jumlah nasabah
yang terlayani, sektopr usaha, dan sebaginya) untuk mengukur manfaatnya bagi
pengentasan kemiskinan.
Pencanangan “The International Year of
Microcredit” oleh Koffi Anan sebagai Sekjen PBB pada tanggal 18 November
2004, di Markas Besar PBB – New York, merupakan sebuah pengakuan internasional
terhadap eksistensi dan esensi keuangan mikro, terutama dalam kerangka
pengentasan kemiskinan dunia. Dalam pidatonya, dinyatakan bahwa keuangan mikro
selama ini telah terbukti sebagai alat yang sangat efektif untuk memerangi
kemiskinan dalam kerangka Millenium Development Goals. Kemajuan di
bidang keuangan mikro antara lain ditandai
dengan kesuksesan pengelolaan LKM oleh Grameen Bank dari Bangladesh. Hal ini juga merupakan pengakuan
internasional, bahwa pengentasan kemiskinan dapat efektif diperangi melalui LKM.
Kebijakan dan strategi yang dibuat untuk LKM
di beberapa negara pada umumnya untuk memfasilitasi kemudahan bagi LKM dalam
melakukan usahanya, terutama dalam penghimpunan dana dari masyarakat dengan
pembatasan tertentu, seperti batas wilayah dan jumlah dana yang dapat dihimpun,
atau lainnya.
Dari berbagai riset yang dilakukan World Bank
(1999) menemukan kebanyakan negara memberikan izin penghimpunan dana dari
masyarakat hanya kepada lembaga keuangan formal (yang mendapatkan izin). Hal
ini menunjukan perlu adanya pembedaan izin yang jelas kepada LKM informal,
dengan menekankan perlu adanya treshholds yang menentukan pendekatan
regulasi yang akan diambil. Sebagai contoh, LSM menghimpun dan menggunakan dana
dari pihak lain, terutama dari donor, koperasi menghimpun dan menggunakan dana
hanya dari anggota, dan bank menghimpun dan menggunakan dana dari masyarakat.
LKM yang menghimpun dana dari masyarakat
seharusnya diatur dengan regulasi yang menerapkan prinsip kehati-hatian.
Sedangkan hasil riset yang dilakukan CGAP (2002) menyimpulkan bahwa kebanyakan
regulasi kekuangan mikro bertujuan positif, yaitu baik memfasilitasi kemudahan
pelaku baru untuk masuk kedalam industri keuangan mikro maupun
kegiatan-kegiatan keuangan mikro itu sendiri. Namun demikian, ketika LKM
dimungkinkan untuk menghimpun dana dari masyarakat, maka regulasi dengan
prinsip kehati-hatian harus diberlakukan dengan tujuan untuk melindungi
penyimpan dana / penabung. Selain itu, apabila skala usaha LKM sudah sangat
besar dan memberikan dampak yang signifikan kepada sektor keuangan sebuah
negara, maka risiko sistemik harus menjadi pertimbangan penting dalam penetapan
regulasi.
Sementara hasil studi yang dilakukan GTZ
(2003) menjelaskan bahwa penekanan regulasi keuangan mikro adalah pada masalah
kelembagaan dan fungsi. Di kebanyakan negara regulasi bagi LKM dengan bentuk
lembaga khusus diatur tersendiri dengan Undang-Undang Keuangan Mikro. Sedangkan
regulasi dengan pendekatan fungsi mengatur tentang pasar sasaran sesuai dengan
fungsinya. Dengan demikian, keuangan mikro lebih dilihat sebagai aktivitas keuangan
daripada jenis lembaganya.
Pelajaran yang dapat diambil dari praktek
penerapan regulasi di beberapa negara, seperti Bangladesh, Bolivia, Kamboja,
Ghana, India, Philipina, Sri Lanka dan beberapa negara Amerika Latin adalah
bahwa negara-negara berkembang masih terus mengembangkan kerangka hukum bagi
keuangan mikro. Di sejumlah negara telah menerapkan kerangka hukum bagi
keuangan mikro berdasarkan tingkatan, dan mengizinkan adanya LKM “new window”
(jenis LKM yang tidak masuk dalam regulasi yang ada saat ini). Jenis-jenis LKM
ini menciptakan banyak lembaga baru, dengan modal disetor berkisar antara US$
20 ribu hingga US$ 1 juta. Di beberapa negara LSM diperbolehkan melakukan
aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran kredit.
a. Kerangka Hukum LKM di
Philipina
Philipina merupakan negara yang relatif telah
memiliki kerangka hukum keuangan mikro yang baik, yang mengatur berbagai jenis
LKM kedalam tingkatan (tiering) berikut:
·
Thrift
Banks, dengan modal minimum US$ 1 juta hingga US$
6,5 juta jika kantor pusatnya berada di Ibukota Negara, Manila. Bank ini
dimiliki oleh masyarakat / swasta, dan diberikan izin berdasarkat Undang-undang
Thrift Banks. Bank ini diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat, di bawah
supervisi bank sentral, serta memperoleh penjaminan simpanan dari Perusahaan
Asuransi Simpanan. Dana yang terhimpun disalurkan kedalam pembiayaan jangka
menengah-panjang untuk sektor usaha mikro, kecil, menengah dan umum.
·
Rural
Bank (Bank Pedesaan), dan Bank Koperasi diatur
dengan Undangundang Rural bank. Modal disetor minimal antara US$ 50 ribu hingga
US$ 260 ribu tergantung pada lokasinya. Wilayah operasinya dibatasi untuk
daerah tertentu, sedangkan jenis layanan yang diberikan berupa tabungan,
deposito berjangka dan kredit. Bank ini dimiliki oleh masyarakat / swasta. Bank
ini juga memiliki mendapatkan penjaminan simpanan dari Perusahaan Asuransi
Simpanan, serta memiliki target pasar yang sama dengan Trift Banks.
·
Koperasi Lembaga Keuangan
(CFI), seperti Credit Union (Koperasi Kredit), dan Koperasi Simpan Pinjam
(KSP), didaftarkan berdasarkan Undangundang Pengembangan Koperasi, dan
disupervisi oleh Otorita Pengembangan Koperasi (CDA). Seperti di beberapa
negara lain, CFI berada di luar wilayah yuridis bank sentral, serta di luar
sistem penjaminan simpanan. CFI tidak diperbolehkan menghimpun dana dari
masyarakat.
·
LSM, atau lembaga swasta
lainnya yang beroperasi sebagai yayasan yang berorientasi nir-laba yang
dibiayai dengan dana hibah dan kredit komersial diatur dengan Undang-undang
Trusts dan Yayasan Nir-laba. Lembagalembaga ini tidak memiliki lembaga
supervisi, walaupun mereka diwajibkan untuk melaporkan kegiatannya kepada
Securities Exchange Commission (regulasi non-prudential).
b.
Kerangka
Hukum LKM di Ghana
Sementara di Ghana, kerangka hukum bagi LKM
dibagi kedalam dua jenis, yaitu LKM dibawah Undang-undang Perbankan (1989) dan
dibawah Undangundang Lembaga Keuangan Bukan Bank (1993). Seluruh LKM yang ada
wajib berbadan hukum (legal entities), dengan sistem tiering sebagai
berikut:
· Rural Banks
(Bank Pedesaan), dengan modal disetor minimum US$ 20 ribu. LKM ini dapat
dimiliki oleh masyarakat, dan diatur dengan Undangundang Perbankan.
Operasionalnya dibatasi dengan tidak diperbolehkan membuka cabang, aktivitasnya
hanya diperbolehkan untuk daerah pedesaan tertentu, dan kegiatan usahanya
terbatas pada layanan tabungan, deposito berjangka dan pembiayaan. Pengambilan
keputusan sama dengan keputusan koperasi, dimana satu pemegang saham
memiliki satu suara.
· Perusahaan
simpan pinjam, dengan modal disetor minimal US$ 50 ribu. Perusahaan ini dibawah
Undang-undang Lembaga Keuangan Bukan Bank, dengan cakupan usaha terbatas pada
layanan tabungan, deposito berjangka, dan pembiayaan (termasuk sewa beli),
tetapi lembaga ini diberikan hak untuk memiliki kantor cabang. Perusahaan ini
dapat dimiliki oleh individu dalam bentuk kepemilikan saham (seperti perseroan
terbatas).
· Credit Union,
didaftarkan berdasarkan Undang-undang Koperasi, dan diatur dengan Badan
Pengawasan Credit Union – instansi pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Perbankan,
Credit Union juga harus didaftar dan mendapatkan izin dari Bank of Ghana. LKM
ini hanya boleh memberikan layanan kepada anggotanya saja, walaupun
operasionalnya menggunakan prinsip kehati-hatian dan panduan yang dikeluarkan
oleh Bank of Ghana.
·
Lembaga Swadaya Masyarakat
yang terlibat dalam aktivitas kredit dapat diberi izin berdasarkan
Undang-undang Trust & Charitable Institution, yaitu kerangka hukum
yang memfasilitasi transformasi menjadi LKM yang legal (termasuk penghimpunan
dana masyarakat).
c.
Kerangka
Hukum LKM di Bolivia
Sementara itu, di Bolivia lembaga yang
menyediakan layanan kredit berupa Bank, Perusahaan Mutual Saving and Loan (terutama
untuk pembiayaan perumahan) dan Credit Union (yang juga banyak bergerak di
bidang pembiayaan perumahan). Pada tahun 1995, dengan mengikuti rekomendasi
dari GTZ, dibentuk kategori lembaga keuangan baru yang khusus melayani keuangan
mikro, dengan sebutan Dana Keuangan Swasta (Private Financial Funds).
Lembaga ini dibatasi jumlah kewajibannya, dan membutuhkan modal disetor sebesar
US$ 1 juta (sedangkan modal disetor bank sebesar US$ 3,2 juta). Rasio kecukupan
modal (CAR) minimal harus 10%, dan kegiatan usahanya dibatasi dengan tidak
boleh menghimpun dana masyarakat, terlibat dalam pembiayaan piutang atau investasi.
Untuk memastikan orientasi mereka pada keuangan mikro, maka besaran kreditnya
dibatasi maksimal 3% dari total modal. Kerangka hukum ini juga meliputi
pengaturan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberikan layanan keuangan
mikro.
C. Yuridis
Saat ini belum ada
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Lembaga Keuangan Mikro. Secara
yuridis keberlakukan Lembaga Keuangan
Mikro di Indonesia didasarkan pada Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi Dan
Usaha Kecil Menengah, Dan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 351.1/KMK.010/2009,
Nomor: 900-639A Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, dan Nomor:
11/43A/KEP.GBI/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (SKB
LKM).
Dalam SKB LKM terdiri dari 8
(delapan) pengaturan yang meliputi:
1.
Pembatasan
istilah LKM menurut SKB ini meliputi LKM yang belum berbadan hukum, dibentuk
atas inisiatif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat seperti Usaha
Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Usaha
Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa
(LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), kelompok
Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan, kelompok Pengembangan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan,
Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola
Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) dan/atau lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2.
Sasaran
pelaksanaan Strategi Pengembangan LKM, yaitu beralihnya LKM yang belum berbadan
hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat atau Koperasi atau Badan Usaha Milik
Desa, atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3.
Proses peralihan
atau transformasi LKM, yang diawali dengan terlebih dahulu melakukan pendataan,
edukasi dan sosialisasi terhadap LKM belum berbadan hukum.
4.
Kesepakatan yang
berisi:
a.
Bank Indonesia
memberikan konsultasi kepada LKM yang akan menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR/S) sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pendirian dan perizinan
BPR/S.
b.
Departemen Dalam
Negeri, bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, melakukan pembinaan terhadap LKM
yang akan menjadi Badan Usaha Milik Desa.
c.
Kementerian
Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah bersama-sama dengan pemerintah daerah
memfasilitasi, memberdayakan, dan membina LKM yang akan menjadi Koperasi
d.
Departemen
Keuangan memberikan konsultasi kepada LKM yang kegiatan usahanya menyerupai
lembaga keuangan yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Departemen Keuangan
menjadi lembaga keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Rincian dari pelaksanaan tugas masing-masing
instansi selama proses dan pasca transformasi LKM.
6. Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri,
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Bank Indonesia
melakukan kegiatan inventarisasi, edukasi, sosialisasi, koordinasi, pemantauan,
dan evaluasi pelaksanaan strategi pengembangan LKM.
7. Menko Perekonomian membentuk Tim yang
beranggotakan Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, serta instansi terkait
lainnya.
8. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan Strategi
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dibebankan pada anggaran masing-masing
kementerian/ lembaga, yang diproses sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang
berlaku.
BAB III
DEFINISI KONSEP DAN ASAS YANG DIGUNAKAN
DALAM PENYUSUNAN NORMA
A. Definisi
Konsep
Keuangan mikro didefinisikan sebagai layanan
jasa keuangan berupa penghimpun dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah kecil,
dan penyediaan jasa-jasa keuangan terkait, yang ditujukan untuk kelompok
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah. Sedangkan pengertian umum Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga
keuangan penyedia jasa
keuangan mikro. Dengan demikian, dalam pengertian umum tersebut, lembaga
penyedia jasa keuangan mikro dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu 1) Badan
hukum bank
(seperti BPR, BRI Unit, dsb.); 2) Badan hukum Koperasi (seperti KSP, USP,
dsb.); dan
3) Belum berbadan hukum tetap berdasarkan undang-undang, dimana kelompok ini sering disebut sebagai LKM.
Total LKM yang
ada sebanyak 77.422 unit diluar Kelompok Masyarakat (Pokmas)
sebagai pendukung berbagai program pemerintah[5].
LKM yang berbentuk bank, seperti BPR, BRI Unit, Danamon Simpan Pinjam (DSP),
dan unit-unit pelayanan dari bank umum, berjumlah sebanyak 8.239 unit. LKM yang
berbadan hukum Koperasi, baik dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
maupun Unit Simpan Pinjam (USP), berjumlah 37.820 unit. Adapun LKM seperti BMT,
BKD, LDKP,
dan sebagainya, diluar Pokmas, sebanyak 31.363 unit.
Sementara itu, jumlah Pokmas pendukung
program pemerintah yang juga melaksanakan kegiatan LKM, seperti PPK, P2KP, P4k,
UPPKS, KUBE, dan sebagainya hingga saat ini berjumlah 606.475 unit[6] . Dengan demikian, totall LKM saat ini berjumlah
637.838 unit. LKM pada umumnya beroperasi dalam lingkup wilayah tertentu yang
cakupannya sangat kecil, seperti dalam satu desa / kelurahan atau kecamatan. Namun sayang, hingga kini
belum ada jumlah pasti berapa orang yang mendapatkan pelayanan dari LKM
tersebut, termasuk nilai pelayannya. Namun, apabila diasumsikan masing-masing
unit LKM tersebut mampu menyalurkan pembiayaan kepada 30 orang miskin dan atau
usaha mikro, masing-masing sebesar Rp. 100 ribu, maka LKM akan menjangkau
sekitar 19 juta orang, dengan total pembiayaan yang dapat disalurkan sebanyak
hampir Rp. 64 trilyun.
Melihat besarnya potensi LKM tersebut, maka
LKM dapat dijadikan salah satu instrumen strategis yang efektif untuk
menjangkau usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah, guna meningkatkan kaspasitas usaha,
serta menurunkan tingkat kemiskinan secara struktural dan berkelanjutan. Jumlah
LKM yang sangat besar dan beragam tersebut, merupakan salah satu aset bangsa
yang sangat bernilai. Bahkan menurut Gonzalez-Vega, Chaves (1992), Indonesia
merupakan laboratorium keuangan mikro terbesar di dunia, yang telah melakukan
berbagai pengujian terhadap beragam LKM. Dengan kata lain, apabila LKM di
Indonesia ditata kembali dengan baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan
menjadi kiblat bagi LKM di seluruh dunia, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan citra bangsa.
1. Karakteristik Usaha Mikro
dan Lembaga Keuangan yang Tepat
Pengguna jasa layanan LKM pada umumnya
berasal dari masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah yang secara ekonomi masih aktif.
Golongan masyarakat ini juga sering disebut sebagai pelaku usaha mikro.
Jenis usaha mikro sangat beragam, namun
secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
· Aktivitas
usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder, seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan yang kesemuanya itu dilaksanakan dalam skala
terbatas dan subsisten, pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan
semacamnya.
· Aktivitas
usaha pemenuhan kebutuhan tersier, seperti transportasi (baik darat maupun air,
misalnya ojek, angkot, delman, dsb.), kegiatan sewa menyewa baik rumah, tanah,
maupun alat produksi.
· Aktivitas
usaha terkait dengan distribusi, seperti perdagangan, baik di pasar maupun
dalam bentuk warung kelontong, kaki lima, penyalur / agen, serta usaha
sejenisnya.
· Aktivitas
usaha jasa lainnya, seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir,
tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.
Karakteristik usaha mikro juga sangat
beragam, namun dapat dikelompokan dalam karakteristik dasar sebagai berikut:
· informal
Sebagian
besar pelaku usaha mikro berusaha di luar kerangka legal dan pengaturan (legal
and regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang
ada atau ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada
(yang seringkali merugikan pelaku usaha kecil), menjadi ruang yang membuat
ekonomi rakyat justru bisa berkembang. Informalitas inilah yang sering
menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa
harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mudah, cepat dan
fleksibel, walaupun dikenakan suku bunga yang sangat tinggi.
· mobilitas
tinggi
Aspek informalitas
usaha mikro membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktivitas yang
dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi
keberlangsungan suatu aktivitas ekonomi rakyat. Dalam merespon kondisi yang
demikian, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki
dan ditinggalkan. Apabila pada aktivitas ekonomi tertentu terdapat banyak
peluang, maka dengan segera akan banyak pelaku yang menerjuninya, sebaliknya
apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu
maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain.
Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan aktivitas primer, seperti pertanian
di mana para pelakunya
jarang meninggalkan aktivitas pertaniannya.
· usaha
keluarga dan tidak fokus
Usaha mikro pada umumnya dimiliki dan dijalankan
oleh satu keluarga secara bersama-sama, sebagai kesadaran mereka atas
optimalisasi sumber daya dan asas manfaat bersama. Misal,
sebuah keluarga yang memiliki usaha bertani, mereka juga pada umunya memiliki
usaha ternak, kambing atau lembu, yang dipelihara oleh anaknya. Usaha itu
dijalankan selain untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya, juga sebagai
sering diguanakan sebagai instrumen simpanan yang sewaktu-waktu dapat
dimanfaatkan ketika usaha taninya sedang gagal panen.
· mandiri
Bagi lembaga keuangan
formal, usaha mikro pada umumnya masih diyakini sebagai usaha yang unbankable
dan high risk. Oleh karenanya, bantuan modal terhadap usaha mikro
masih sangat kecil dibandingkan dengan skala usaha menengah besar yang jumlah
pelakunya jauh lebih sedikit. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha mikro mampu
mandiri dalam hal penyediaan modal.
2. Karakteristik Kebutuhan
Masyarakat Miskin dan Usaha Mikro terhadap Jasa Keuangan
Masyarakat miskin atau usaha mikro pada
umunya membutuhkan jasa keuangan untuk memenuhi 3 hal berikut ini:
· Memenuhi
Siklus Hidup (life cycle needs)
Siklus hidup, seperti kelahiran anak,
menyekolahkan anak, menikahkan anak, pemakaman sering membutuhkan biaya yang
relatif tinggi bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sehingga
tidak jarang mereka harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan ini.
· Memenuhi
Kebutuhan Darurat (emergency needs)
Pengeluaran tak terduga sebelumnya, juga
sering menjadi alasan mengapa masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah
harus berhutang. Misal kejadian tak terduga tersebut berupa kejadian sakit,
gagal panen, adanya penggusuran tempat usaha, sumbangan kepada tetangga atau
sanak saudara yang sedang hajatan, kejadian pencurian, dan sebagainya.
· Memenuhi
Kebutuhan untuk Memanfaatkan Peluang (opportunity needs)
Sesuai dengan karakteristik usaha mikro yang
memiliki mobilitas tinggi dan informal, pada umumnya mereka sangat mudah untuk
menangkap peluang usaha. Dengan karakteristik tersebut, maka layanan keuangan
mikro yang cepat, mudah persyaratannya, dan fleksibel penggunaannya merupakan
kebutuhan masyarakat miskin/usaha mikro untuk menajalankan usaha dalam rangka
menangkap adanya peluang.
3.
Karakteristik LKM
Berdasarkan pengamatan, tujuan utama
didirikannya LKM pada umumnya dimaksudkan untuk memobilisasi dana dari
masyarakat di pedesaan dan disalurkan kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta
untuk membiayai usaha mereka yang berskala mikro. Dengan demikian, LKM ini
berkonsentrasi pada kegiatan simpan pinjam. Namun demikian, beberapa LKM juga
melakukan aktivitas penempatan dana di bank umum, simpan pinjam keliling,
berperan sebagai agen asuransi (tidak ikut menjamin), ikut dalam asosiasi
(perkumpulan) yang mendukung operasinya atau skema penjaminan simpanan di antara mereka (seperti
tabaru’), dan aktivitas terkait lainnya yang dianggap tidak melanggar tata
susila dan peraturan. Keseluruhan transaksi pada umunya dilakukan dengan
menggunakan mata uang rupiah.
Wilayah operasinya pada umumnya di pedesaan
sebagai respons terhadap adanya gap antara kebutuhan dan ketersediaan
layanan keuangan mikro. Namun demikian, beberapa LKM ini juga beroperasi di
perkotaan masih yang memiliki gap layanan finansial bagi masayarakat
miskin perkotaan.
Dari sisi kepemilikan, LKM ini pada umumnya
dimiliki oleh individu secara berkelompok, masyarakat dalam satu wilayah,
seperti desa, kampung, dan ada juga yang dimiliki oleh pemerintahan desa, atau
yayasan. Beberapa LKM memiliki kantor cabang, baik dalam wilayah operasinya
maupun terkadang menyeberang di luar batas wilayah operasinya. Selain pembukaan
kantor cabang, untuk memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat LKM pada
umumnya juga mengoperasikan layanan keliling, baik untuk penghimpunan dana
maupun untuk penagihan pinjaman.
Struktur tata kelola yang diterapkan LKM ini
pada umumnya dipimpin oleh seorang manajer, dan dibantu oleh tenaga pemasaran
yang sekaligus sebagai kolektor, dan tenaga pembukuan. Pembukuan dan laporan
keuangan yang dikeluarkan tidak standar dan cenderung sangat sederhana.
Pengawasan biasanya dilakukan oleh Dewan Pengawas, namun pada umumnya dewan ini
tidak aktif melakukan pengawasan. Ketidakjelasan entitas hukum LKM ini, juga
tidak jarang dimanfaatkan oleh rentenir (seorang pemodal pelepas uang) yang
beroperasi seolah-olah resmi seperti lembaga keuangan.
Di lihat dari sisi volume usaha, LKM ini
memiliki varian yang sangat lebar, dimana terdapat LKM yang memiliki total aset
dan atau keuntungan jauh melebihi BPR atau KSP. Namun sebagian besar lainnya
memiliki aset yang sangat kecil. Imbal hasil yang ditetapkan oleh LKM ini
relatif sangat tinggi dibandingkan dengan LKM formal, baik imbal hasil terhadap
simpanan maupun imbal hasil pinjaman. Tingginya imbal hasil tersebut, selain
secara alamiah untuk menutup risiko yang tinggi, juga dikarenakan pada umumnya
belum tercapaikan skala ekonomis usaha LKM pada tingkat yang efisien.
B. Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
Regulasi terkait yang mengatur lembaga yang
dapat menyelenggarakan layanan keuangan mikro hingga saat ini adalah UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
serta Peraturan Pemerintah Nomor 103/2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM)
Pegadaian. Karena lembaga Pegadaian hanya dimiliki Pemerintah, maka lembaga
yang dapat dimiliki publik pada dasarnya hanya memiliki dua kerangka hukum,
yakni Perbankan dan Koperasi. Walaupun regulasi yang ada saat ini tersebut
telah diupayakan untuk sedapat mungkin mewadahi berbagai lembaga penyedia layanan keuangan
mikro yang jumlahnya sangat banyak, namun hal itu secara nyata belum mampu
menjadi tempat yang sesuai dengan karakteristik lembaga penyedia layanan
keuangan mikro itu sendiri, khususnya lembaga penyedia layanan keuangan mikro
yang tidak berbentuk bank atau koperasi, atau disebut sebagai Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) – LKM B3K.
1.
Kerangka
Hukum Bank
Undang-undang perbankan yang mengharuskan BKD
dan LDKP menjadi BPR, ternyata tidak mampu mengakomodasi seluruh BKD dan LDKP
yang dipersamakan sebagai BPR[7] . Kemungkinan, tidak
terakomodasinya BKD dan LDKP yang dipersamakan dengan BPR tersebut dengan
undang-undang perbankan, dikarenakan karena: 1) ketidak-mampuan memenuhi
berbagai persyaratan perbankan yang telah ditentukan, atau 2) ketidak-mauan
para pengelola lembaga-lembaga tersebut terikat dengan undang-undang perbankan
yang relatif akan membatasi fleksibilitas pelayanannya, sehingga pelayannya
tidak lagi sesuai dengan kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan
masyarakat pedesaan.
Besarnya modal disetor[8] bagi pendirian BPR juga menghambat
perkembangan BPR di pedesaan, terutama daerah yang tingkat populasinya relatif
sedikit. Hal ini juga sebagai salah satu yang mendorong masyarakat mendirikan
lembaga keuangan alternatif yang fokus melayani usaha mikro.
2.
Kerangka
Hukum Koperasi
Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif
pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan
karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha
atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga
keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan
ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon
anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan
keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang
dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal
dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha
mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota / pemilik
koperasi karena kepentingan masingmasing dari mereka sangat beragam.
Berangkat dari kenyataan yang ada, dimana
usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah
membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan,
maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain
(berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan
kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan
masyarakat miskin pada umumnya. Undang-undang
perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya
masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha
mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Kendatipun BPR diatur secara berbeda daripada
bank umum, namun tidak semua usaha
mikro mampu memenuhi berbagai ketentuan bank practice dan penerapan
prinsip kehati-hatian bank yang diterapkan BPR. Misal banyak usaha mikro yang
tidak dapat mengakses pembiayaan dari BPR karena tidak memiliki jaminan, tidak
memenuhi syarat administrasi yang rumit yang dibutuhkan untuk kebutuhan
informasi debitur, pembayaran / pengembalian dilakukan ketika saat panen (atau
diistilahkan “yarnen”), dan sebagainya.
Menurut GTZ Undang-undang Perbankan bersifat
sangat mengatur terlalu ketat (too restrictive), hal itu menyebabkan
kurangnya fleksibilitas bagi LKM yang harus menjadi BPR. Hal tersebut
dibuktikan dengan penelitian Sumantoro (2002) yang dilakukan terhadap 100 BKD
dan LDKP yang berubah menjadi BPR menunjukan bahwa sekitar 90% dari seluruh BKD
mengalami marjin negatif akibat dari perubahan sistem akuntansi, struktur
organisasi, dan peningkatan biaya yang sukar diadaptasi. Selain itu, hal
tersebut juga tidak mendorong efektivitas LKM tersebut sebagai lembaga
pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin di pedesaan karena kriteria CAMEL
tidak memperhatikan penyediaan sarana dan “pendalaman” akses pelayanan. Pada
awal pemberlakuan CAMEL di tahun 1991/1992,
jumlah pemimjam BKK menurun 11,6% jumlah peminjaman baru berkurang 23%,
sebaliknya jumlah pinjaman rata-rata naik sebesar 26,8%.
Sementara itu, rencana implementasi
Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana pengaturan BPR cenderung lebih
ketat, misal persyaratan modal disetor yang lebih besar, pembukaan kantor
cabang sangat selektif, perizinan pendirian BPR baru dibatasi, dan sebagainya
berakibat pada semakin sulitnya LKM untuk meng-upgrade dirinya menjadi
BPR.
Di sisi lain, undang-undang perkoperasian
sebagai alternatif pilihan regulasi bagi LKM dianggap kurang sesuai karena
perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan LKM itu
sendiri. Misal koperasi tidak mudah untuk menangkap peluang pendanaan melalui
penghimpunan dana atau pembiayaan dari dan ke luar anggota, karena hal tersebut
akan melanggar undang-undang yang ada. Selain itu, dari aspek usaha pembiayaan
yang dibatasi kepada anggota koperasi, yang relatif memiliki kesamaan
karakteristik usaha (homogen), sangat bertentangan dengan prinsip penyebaran
risiko pembiayaan (diistilahkan “menempatkan telor pada satu keranjang”). Untuk
itu, memaksakan LKM untuk memiliki badan hukum koperasi dikhawatirkan akan
menurunkan kinerja LKM.
Kesenjangan ini pun belum juga dapat
sepenuhnya dicukupi oleh LKM berbentuk koperasi di pedesaan, antara lain karena
adanya prinsip / persyaratan keanggotaan untuk mendapatkan layanan koperasi.
Hal ini mengingat sebagian besar usaha mikro atau masyarakat miskin ingin
mendapatkan layanan keuangan mikro tanpa harus menjadi pemilik LKM tersebut.
3. Kerangka Hukum LKM
Pada kenyataannya di masyarakat telah
berkembang LKM yang tidak mengikuti kedua regulasi tersebut di atas, atau yang
disebut sebagai LKM, atau juga biasa disebut sebagai “3rd window,” sebagai alternatif
upaya agar usaha mikro tetap memperoleh pelayanan keuangan. LKM tersebut kini
beroperasi tanpa landasan hukum yang jelas, dan bahkan sebagian besar dari
mereka secara nyata melanggar undang-undang perbankan (UU No. 10/98), khususnya
pasal 16 yang mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha
menghimpun dana terlebih dahulu wajib memperoleh izin usaha sebagai bank umum
atau BPR dari Bank Indonesia.
Di satu sisi, kehadirannya LKM secara riil di
lapangan sangat diperlukan oleh pelaku usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta
masyarakat pedesaan pada umumnya. Di lain pihak, pemerintah tidak mengatur
keberadaan mereka sebagai bentuk perlindungan kepada para pelaku LKM beserta
pengguna jasanya, yang sebagian besar adalah usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah. Ketidaktegasan pemerintah dalam penegakan hukum
terhadap LKM yang melanggar hukum, seperti melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat (melakukan “praktek bank gelap”), yang dapat berpotensi merugikan
masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak buruk yang potensi timbul tersebut
adalah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh orang atau kelompok tertentu
dengan mengatasnamakan LKM untuk mencari keuntungan sendiri, melalui penghimpunan dana dari
masyarakat, pencucian uang, dan sebagainya yang pada akhirnya akan merugikan
usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya.
Namun demikian, apabila pemerintah melakukan
penegakan hukum secara tegas, dengan memaksakan LKM untuk masuk kedalam sistem
regulasi yang ada saat ini, atau secara ekstrim harus membubarkan / melikuidasi
keberadaan mereka, maka biaya yang harus ditanggung pemerintah akan sangat
besar, terutama untuk menghadapi berbagai masalah sosial yang timbul, seperti
terjadinya keresahan masyarakat usaha mikro dan masyarakat miskin yang jumlahnya
sangat besar beserta ekses-ekses negatifnya.
Contoh kasus penegakan hukum tersebut pernah
terjadi di Lampung dan Kendal – Jawa Tengah[9],
dimana polisi menangkap dan memeriksa beberapa pengurus BMT dengan tuduhan
melakukan praktek bank gelap –yaitu melakukan penghimpunan dana dari masyarakat
sebagai calon anggota. Hal ini jelas sangat meresahkan masyarakat, khususnya
para pelaku BMT, serta akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan LKM yang
sangat dibutuhkan masyarakat.
Kesenjangan antara kebutuhan dan penawaran
jasa layanan
keuangan mikro yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah timbul akibat kurangnya keberpihakan
regulasi yang ada saat ini terhadap usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah sesuai karakteristiknya. Namun demikian,
pemaksaan terhadap regulasi yang saat ini ada untuk berubah dan mengakomodasi
kebutuhan usaha mikro,
masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah bukanlah tindakan yang bijak, karena
perbankan secara internasional mengikuti prinsip Basle II. Sedangkan keuangan
mikro secara internasional memiliki prinsip-prinsip tersendiri. Misal,
perbankan tetap wajib menerapkan segala prinsip kehati-hatiannya, walaupun hal
ini sebagai penyebab sulitnya akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap
pelayanan jasa keuangan, namun hal itu semata-mata ditempuh agar bank dapat sustainable
untuk mendukung perkonomian nasional. Sebaliknya ketika perbankan
dipaksakan untuk melonggarkan implementasi prinsip kehati-hatian agar dapat
melayani usaha mikro, masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sangat
dikhawatirkan justru akan menimbulkan penurunan kinerja.
Oleh karena itu, pemberian payung hukum atau azas legalitas bagi
LKM merupakan langkah konkrit keberpihakan
semua pihak kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah di
Indonesia yang belakangan ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun,
tanpa harus mengorbankan tatanan industri lembaga keuangan yang ada saat ini.
Pemberian payung hukum bagi LKM ini bukan saja sebagai bentuk pengakuan
terhadap keberadaan mereka yang secara nyata sangat dibutuhkan masayarakat
misikin sesuai dengan karakteristiknya, namun juga diharapkan dapat memberikan
kepastian hukum, baik bagi para pelaku maupun penggunanya, serta untuk
mendorong terciptanya industri LKM yang berkelanjutan (sustainable) dalam
memberikan pelayanan jasa keuangan kepada usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada
umumnya.
BAB IV
KAJIAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
1.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Dalam pengaturan di Undang-Undang Perbankan, keterkaitan
dengan pembentukan RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terdapat pada LKM yang berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam
Undang-Undang Perbankan, pengaturan mengenai BPR merujuk pada beberapa pasal,
yaitu: Pasal 13, Pasal 16, Pasal 19, dan Pasal 29. Dalam Pasal 13 Undang-Undang
Perbankan, usaha BPR meliputi:
a. menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan
kredit;
c. menyediakan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.;
d. menempatkan
dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.
Selanjutnya dalam melakukan kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan wajib, Pasal 16 Undang-Undang Perbankan
menyatakan bahwa BPR terlebih dahulu memperoleh izin usaha Bank Perkreditan
Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana
dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang‑undang tersendiri, dimana
persyaratan yang wajib dipenuhi paling sedikit memuat:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan;
e. kelayakan rencana kerja.
Selanjutnya, menurut Pasal 29 Undang-Undang Perbankan,
pembinaan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia, dimana terkait ini,
BPR wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,
dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati‑hatian.
2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Dalam hal LKM yang dibentuk berupa koperasi, yang dalam hal ini bentuk koperasi
yang sesuai dengan LKM adalah koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam
koperasi, pengaturan dalam Undang-Undang Koperasi yang perlu menjadi perhatian
untuk diharmonisasi atau disinkronisasi dalam wacana pembentukan Undang-Undang
LKM adalah beberapa ketentuan pasal
sebagai berikut, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 9, dan Pasal 44 Undang-Undang
Perkoperasian.
Dalam hal pendirian LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam, menurut
Pasal 9 Undang-Undang Koperasi,
memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh
Pemerintah. Selanjutnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian menyatakan
bahwa dalam menjalankan usahanya, Koperasi dapat melaksanakan usaha simpan
pinjam, dengan cara menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha
simpan pinjam dari dan untuk:
a. anggota
Koperasi yang bersangkutan;
b. Koperasi lain
dan/atau anggotanya.
Pada prinsipnya, pengaturan mengenai kegiatan Koperasi Simpan Pinjam atau
unit simpan pinjam koperasi belum diatur secara detil dalam undang-undang
tersendiri, namun sebagai peraturan pelaksana telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Substansi-substansi pokok yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 memuat definisi
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), bentuk organisasi, pendirian, permodalan, dan
pembinaan. Definisi KSP menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 adalah koperasi yang
kegiatannya hanya usaha simpan pinjam. Bentuk organisasi dari KSP menurut Pasal
2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1995 dinyatakan bahwa kegiatan usaha
simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan
Pinjam, dimana bentuk keduanya dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi
Sekunder. Selanjutnya, dalam hal pendirian,
menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1995, dinyatakan bahwa Pendirian Koperasi Simpan Pinjam
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan
dan tata cara pengesahan Akta Pendirian dan perubahan Anggaran Dasar Koperasi.
Dimana permintaan pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam diajukan
dengan tambahan lampiran:
a. rencana kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun;
b. administrasi dan pembukuan;
c. nama dan riwayat hidup calon Pengelola;
d. daftar sarana kerja.
3.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Menjadi Undang-Undang.
Pada prinsipnya LKM yang berbentuk BPR, menjadi obyek dalam Undang-Undang
LPS. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang LPS, yang menyatakan bahwa Bank adalah
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan. Mengingat hal itu, maka ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang LPS berlaku pula untuk BPR, yang di satu sisi merupakan salah
satu bentuk dari LKM. Adapun beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang LPS
yang perlu menjadi perhatian bagi pembentukan Undang-Undang LKM, khususnya LKM
yang berbentuk BPR, yaitu ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang LPS.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang LPS, dinyatakan bahwa setiap
Bank, termasuk diantaranya BPR, yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan. Namun demikian kewajiban
ini tidak termasuk Badan Kredit Desa. Selanjutnya untuk melengkapi kewajiban
BPR sebagai peserta penjaminan, dalam Pasal 9 Undang-Undang LPS, BPR wajib
a. menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1) salinan
anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank;
2) salinan
dokumen perizinan bank;
3) surat
keterangan tingkat kesehatan bank yang dikeluarkan oleh LPP yang dilengkapi
dengan data pendukung;
4) surat pernyataan dari direksi, komisaris, dan pemegang
saham bank, yang memuat:
i. komitmen dan kesediaan direksi, komisaris,
dan pemegang saham bank untuk mematuhi seluruh ketentuan sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan LPS;
ii. kesediaan untuk bertanggung jawab secara
pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang
mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha bank;
iii. kesediaan untuk melepaskan dan menyerahkan
kepada LPS segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan apabila
bank menjadi Bank Gagal dan diputuskan untuk diselamatkan atau dilikuidasi;
b. membayar kontribusi kepesertaan sebesar 0,1%
(satu perseribu) dari modal sendiri (ekuitas) bank pada akhir tahun fiskal
sebelumnya atau dari modal disetor bagi bank baru;
c. membayar premi Penjaminan;
d. menyampaikan laporan secara berkala dalam format yang ditentukan;
e. memberikan
data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan
Penjaminan; dan
f. menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor
bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat.
4.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)
Dalam kaitannya
dengan pembentukan LKM, dalam Undang-Undang UMKM terdapat beberapa ketentuan
pasal yang perlu menjadi perhatian, terutama terkait dengan definisi usaha
mikro dan pembiayaan, kriteria usaha mikro, dan pembiayaan bagi usaha mikro,
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 6 ayat 1, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang UMKM.
Definisi usaha mikro yang terdapat dalam
Pasal 1 angka 1 adalah Usaha Mikro
adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Sedangkan pembiayaan, yang merupakan kunci pelaksanaan LKM dalam usaha mikro,
menurut Pasal 1 angka 11 didefinisikan sebagai penyediaan dana oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan
lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang UMKM, menyatakan kriteria suatu usaha mikro meliputi sebagai
berikut:
a.
memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau
b.
memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Terkait dengan pembiayaan untuk usaha mikro,
dalam Pasal 21 Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro. Selain itu, Badan Usaha Milik
Negara dapat pula menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan
yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dalam bentuk pemberian pinjaman,
penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Masih terkait dengan pembiayaan
untuk usaha mikro, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat
memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber
pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.
Selain itu pula, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif
dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana,
dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha
Mikro.
Selanjutnya, dalam Pasal 22 Undang-Undang
UMKM, menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro,
Pemerintah melakukan upaya:
a. pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan
lembaga keuangan bukan bank;
b.
pengembangan lembaga modal
ventura;
c. pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
d. peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil
melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan
syariah; dan
e. pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk
meningkatkan akses Usaha Mikro, dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang UMKM,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
a. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan
lembaga keuangan bukan bank;
b. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan
lembaga penjamin kredit; dan
c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi
persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Undang-Undang BI)
Wacana pembentukan
Undang-Undang LKM terkait dengan beberapa Undang-Undang. Dalam hal
keterkaitannya dengan Undang-Undang Bank Indonesia dapat dilihat dari materi
Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, yang diatur dalam Pasal 24 sampai dengan
Pasal 35 Undang-Undang BI, yang merupakan salah satu tugas BI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang BI, selain menetapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan moneter dan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Pada prinsipnya tugas mengatur dan mengawasi
bank, dilakukan oleh BI terhadap semua kriteria yang didefinisikan bank menurut
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang BI, yaitu termasuk BPR dan BPRS, yang mana
merupakan salah satu jenis LKM berbentuk bank.
Dalam hal
pengawasan terhadap BPR maupun BPRS, berdasarkan amanat Undang-Undang BI, ke
depan akan dibentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen,
dan dibentuk dengan Undang‑undang. Namun demikian sepanjang lembaga pengawasan
tersebut belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan BPR/BPRS dilaksanakan
oleh Bank Indonesia, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35
Undang-Undang BI.
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan Daerah)
Dalam hal
keterkaitan pembentukan Undang-Undang LKM dengan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dapat dilihat pada lembaga kemasyarakatan di desa dan badan usaha milik
desa. Lembaga kemasyarakatan di desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211
Undang-Undang Pemerintah Daerah dapat berfungsi untuk membantu pemerintah desa dan merupakan mitra
dalam memberdayakan masyarakat desa, yang salah satunya lembaga perbedayaan
masyarakat desa yang menyalurkan pembiayaan
berbentuk keuangan mikro.
Selanjutnya untuk
mengembangkan potensi dan kebutuhan desa, menurut Pasal 213 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa, yang pendiriannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan usaha milik desa ini dalam
prakteknya dapat berbentuk Badan Kredit Desa, Badan Usaha Kredit Pedesaan dan
bentuk-bentuk lainnya, yang dalam operasionalisasinya dapat menyalurkan
kredit/pembiayaan mikro.
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah)
Sama halnya dengan
Undang-Undang Perbankan, keterkaitan Undang-Undang Perbankan Syariah dengan
pembentuan Undang-Undang LKM terletak pada LKM yang berbentuk bank. Dalam
Undang-Undang Perbankan Syari’ah keterkaitan itu terdapat pada Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) yang dalam operasionalisasinya menyalurkan pembiayaan
mikro.
Dalam Pasal 1 angka
9 Undang-Undang Perbankan Syariah, definisi BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap BPRS,
menurut Pasal 50 Undang-Undang Perbankan Syariah, dilakukan oleh Bank Indonesia.
BAB V
MATERI
MUATAN DAN SISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A. Ketentuan
Umum
Ketentuan
umum dalam undang-undang ini memuat definisi sebagai berikut:
1.
Keuangan mikro adalah kegiatan sektor keuangan
berupa penghimpunan dana dan pemberian
pinjaman dalam skala mikro dengan suatu prosedur yang sederhana kepada
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
2.
Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan mikro bukan bank
yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
3.
Perkumpulan adalah badan hukum
yang merupakan kumpulan orang dan didirikan untuk mewujudkan kesamaan tujuan,
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
4.
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat dan/atau anggotanya kepada LKM berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk tabungan.
5.
Tabungan adalah simpanan di LKM yang penyetorannya
dilakukan berangsur-angsur dan penarikannya hanya dapat dilakukan menurut
syarat tertentu yang disepakati antara penyimpan dana dengan LKM yang
bersangkutan dengan menggunakan tanda terima dan/atau buku tabungan.
6.
Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk suatu kegiatan usaha
yang harus dikembalikan berdasarkan perjanjian dengan disertai pendampingan.
7.
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk suatu kegiatan usaha
yang harus dikembalikan berdasarkan perjanjian sesuai prinsip keuangan syariah
dengan disertai pendampingan.
8.
Penyimpan adalah pihak yang menyimpan dananya di LKM
dalam bentuk simpanan.
9.
Penerima adalah pihak yang menerima dana dari LKM.
10. Anggota
adalah anggota koperasi dan anggota perkumpulan.
11.
Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.
12.
Menteri
adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang usaha dan keuangan
mikro.
13.
Orang
adalah orang perorangan dan/atau badan hukum.
B. Asas dan Tujuan
Penyelenggaraan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berlandaskan pada asas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
keberlanjutan, kemandirian, keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, dan pemerataan
sebagai kesatuan dari pembangunan perekonomian nasional dengan tujuan untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat.
Adapun uraiannya sebagai berikut:
1. Asas
a. Yang
dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa prosedur pembiayaan dan
penyimpanan dana dalam LKM dibuat sesederhana mungkin.
b. Yang
dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama untuk kepentingan bersama.
c.
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan”
adalah suatu usaha yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan
yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
d. Yang
dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa
banyak bergantung kepada pihak lain baik dari aspek sumber daya manusia dan
permodalan.
e. Yang
dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah suatu kegiatan usaha yang dapat
memberi manfaat kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
f. Yang
dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu kegiatan usaha yang proses
pengelolaannya dapat diketahui oleh masyarakat.
2. Tujuan
Adapun tujuan dari
penyelenggaraan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah untuk:
a. memberdayakan
ekonomi dan produktivitas masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah;
b. mempermudah
akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap jasa keuangan
mikro; dan
c. meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
C. Bentuk Hukum, Pendirian, Permodalan,
Kepemilikan dan Perizinan
1. Bentuk Hukum
Di
Indonesia telah tumbuh berbagai model atau bentuk LKM yang begitu beragam dan
sangat kaya, serta sulit ditemukan bandingannya dengan negara lain.[10] Skema di
bawah ini memperlihatkan status hukum dari LKM yang ada di Indonesia. Skema ini
mendasarkan LKM yang berbentuk bank dan non bank, dimana kategori non bank
masih dibagi menjadi formal dan non formal.[11]
|
|||
|
|||
LK
Namun
demikian, belum diakuinya keberadaan LKM non bank secara legal, membuat
keraguan bagi pelakunya untuk mengembangkan diri dan melakukan ekspansi secara
maksimal. Dikhawatirkan keberadaannya akan "diganggu" oleh aparat
keamanan atau aparat pemerintah setempat, sebab dianggap melakukan "ilegal
banking'. Disamping itu, akibat statusnya yang belum legal, membuat
kerjasama dengan pihak-pihak lain (misalnya perbankan) ataupun mencari investor
menjadi lebih sulit.[12]
Saat ini
LKM non bank belum memilki bentuk badan hukum yang jelas. LKM tersebut hanya
memiliki akta pendirian dari notaris. Berdasarkan masukan dari daerah bagi LKM
yang non bank diarahkan untuk mengacu kepada salah satu bentuk hukum yang
diatur dalam SKB LKM (sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya) yaitu Bank
Perkreditan Rakyat, Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa.[13]
Berdasarkan
uraian pada bab sebelumnya di Indonesia bisa dibagi menjadi 4 model pendekatan,
yaitu:[14]
a. Saving Led
Microfinance
Model
pendekatan LKM ini bertumpu dari mobilisasi keuangan (tabungan) yang
mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin (pengusaha
mikro) itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership based atau
sangat bertumpu pada anggota, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap
kelembagaan mempunyai makna yang sangat penting. Sebagai contoh, bentuk-bentuk
yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM), Kelompok Usaha Bersama (Kube), Credit Union (CU), Koperasi Simpan
Pinjam (KSP), dan lain-lain.
Credit
Union adalah institusi yang sangat menekankan pinjaman anggota
harus berasal dari simpanan atau tabungan para anggota sendiri. Aspek yang
sangat ditonjolkan dalam pendekatan saving led microfinancem\ adalah
soal pendidikan dan kemandirian, dimana para anggota dididik untuk menggunakan
uang secara hati-hati dan terencana melalui tabungan.
b. Credit
Led Microfinance
Sumber
pendanaan dari model pendekatan LKM ini terutama bukan diperoleh dari
mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber-sumber lain
yang memang ditujukan untuk pengembangan usaha mikro. Pengumpulan tabungan dari
masyarakat miskin membutuhkan waktu yang lama agar bisa memenuhi kebutuhan
pinjaman seluruh anggota. Dan seringkali kebutuhan pengusaha mikro terutama
bukanlah untuk menabung, akan tetapi lebih untuk mendapatkan akses kredit.
Dengan
ketersediaan dana yang memadai, memungkinkan melakukan kegiatan pelayanan
keuangan mikro kepada pengusaha mikro yang lebih cepat dan banyak. Namun salah
satu persoalan yang sulit bagi LKM model pendekatan ini adalah mencari
"investor" yang bersedia melakukan pendanaan. Adapun contoh-contoh
bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan
(LDKP), baiful mat wattanwil(BMJ), LKM model Grameen Bank, LKM model Association
for Social Advancement (ASA), dan bentuk lainnya.
c. Micro Banking
Model
pendekatan dari LKM ini adalah sektor perbankan yang didesain untuk melakukan
pelayanan keuangan mikro. Bank yang didesain untuk melakukan ini adalah Bank
Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Akan tetapi kini ada
kecenderungan pula bank umum yang mulai melayani sektor ekonomi rakyat dan
melakukan desain agar mampu menjangkau usaha mikro dan kecil, misalnya Bank
Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam. llustrasi di bawah ini akan
memperlihatkan kinerja BRI yang kemudian membuat Danamon ikut terjun ke sektor
ekonomi rakyat dan ternyata berhasil.
d. Lingkage Model
Model
pendekatan melalui linkage pada prinsipnya memanfaatkan kelembagaan yang
telah ada. Dalam hal ini ada dua macam linkage, pertama linkage antar
lembaga keuangan dimana lembaga keuangan (perbankan atau lembaga pembiayaan
lain) berhubungan dengan LKM. Sebagai contoh saja: linkage antara
bank-bank umum dengan BPR, linkage
antara Permodalan Nasional Madani (PNM) dan BPR, dll. Linkage yang
kedua adalah antara lembaga keuangan (bank) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Linkage ini sering disebut sebagai Pola Hubungan Bank dan Kelompok
Swadaya Masyarakat.
Hasil
studi SMERU juga menunjukkan adanya kesulitan yang dihadapi pelaku LKM non
formal karena ketidakjelasan status hukumnya, terutama karena tidak dapat
memobilisasi dana serta tidak dapat melakukan penegakan hukum terhadap
nasabahnya yang bermasalah.[15] Akan
tetapi mobilisasi tabungan publik melalui LKM akan berbenturan dengan hukum,
sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa
setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum
atau BPR dari Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan dimaksud diatur dengan
undang-undang tersendiri. Dengan demikian bila tidak ada aturan hukum LKM non
bank jelas investor dan penabung juga akan terancam, sebab pemerintah tidak
bisa melindungi mobilisasi dana (tabungan) masyarakat.
Lembaga
keuangan formal (bank) pada umumnya kurang menyentuh sektor yang marjinal ini.
Jadi letak permasalahannya bukan besar kecilnya LKM, namun pada fungsi dari
keberadaan LKM. Apabiila LKM melayani sektor usaha menengah atau besar, maka
sudah tidak bisa dikatakan sebagai LKM. Semakin besar suatu LKM sesuai dengan
fungsinya tentu patut didukung, sebab LKM tersebut akan melayani semakin banyak
pula pengusaha mikro (masyarakat miskin).
Dengan
demikian, untuk melayani pengusaha mikro yang jumlahnya puluhan juta diperlukan
capital resources yang cukup besar, namun tidak harus diwujudkan menjadi
bank (BPR), karena apabila berwujud menjadi bank, pengusaha mikro akan
kesulitan untuk mengakses dikarenakan harus berhadapan dengan prosedur yang
konvensional.[16]
Permasalahan
selanjutnya, apabila LKM menjadi besar dan tidak menjadi BPR, tetapi diarahkan
menjadi koperasi. Kecenderungan koperasi yang dimaksud di sini adalah koperasi
simpan pinjam (KSP) atau unit simpan pinjam koperasi, yang harus mengikuti
aturan perkoperasian. Bentuk hukum KSP tidak bermasalah tetapi yang menjadi
permasalahan apabila para pengusaha mikro yang bukan anggota dan ingin meminjam
ke KSP. Apakah pengusaha mikro itu, harus menjadi anggota KSP dahulu? Prosedur
ini terasa menjadi panjang dan dapat membuat enggan pengusaha mikro, sebagai
pelaku bisnis biasanya ingin memperoleh dana secara cepat dan belum tentu semua
pengusaha mikro ingin menjadi anggota koperasi.
Sesuai
dengan masukan di lapangan, LKM non koperasi dan non bank tidak memiliki izin
usaha untuk operasionalnya tetapi sudah memiliki akta pendirian sebagai badan
usaha dari notaris. Untuk BPR dan Koperasi izin usahanya sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Izin dicabut dan/atau dihentikan jika terjadi
pelanggaran hukum terhadap ketentuan yang ada.[17]
Berdasarkan
uraian di atas, untuk mengakui, melindungi, memfasilitasi dan mendorong
berbagai LKM bukan bank maka di dalam RUU LKM nanti LKM tersebut diarahkan
kepada suatu bentuk hukum tersendiri bukan bank. Badan hukum lain selain BPR
dalam SKB LKM diarahkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes
merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis
potensi. Pendayagunaan potensi ini terutama bertujuan untuk peningkatan
kesejahteran ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha ekonomi. Disamping
itu, keberadaan BUMDes juga memberikan sumbangan bagi peningkatan sumber
pendapatan asli desa yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal. (perlu ditambahkan kelemahan
dari BUMDes).
Bahwa
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana
diamanatkan dalam Bab VII bagian kelima yang menyatakan Pemerintah Desa dapat
mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa
dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa. Sebagai
tindak lanjut dari pelaksanaan pendirian BUMDes, maka berdasarkan Pasal 78
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Tentang Desa, dijelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten-Kota perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Badan Usaha Milik Desa.
BUMDes
diharapkan dapat menjadi instrument pemberdayaan masyarakat miskin melalui
pengembangan peranan sebagai Lembaga Ekonomi Desa dengan fokus pelayanan
keuangan dan pengembangan usaha micro finance. Kelompok atau jenis
lembaga keuangan mikro bukan Bank bukan Koperasi yakni bentuk keuangan mikro
yang merupakan kelompok atau gabungan beberapa orang yang diikat oleh faktor
geografis dan kultur atau dasar kepentingan tertentu yang melakukan pola usaha
sebagai lembaga atau jasa keuangan mikro kepada usaha-usaha mikro. pengelolaan
keuangan oleh kelompok ini pada dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan
dengan sistem bergulir, modal yang digunakan dapat bersumber dari bantuan atau
iuran langsung dari masyarakat dan/atau anggota kelompok tersebut.
Berdasarkan
konsep tersebut BUMDes dikembangkan sesuai dengan potensi ekonomi lokal yang
benar-benar prospektif dan sesuai dengan kemampuan yang ada. Organisasi BUMDes
berada di luar struktur organisasi pemerintahan desa. Sedangkan kepengurusan
BUMDes dipilih berdasarkan musyawarah desa dan ditetapkan berdasarkan Peraturan
Desa. Lembaga Sumber Permodalan, baik bank maupun non-bank. Dalam hal ini
diperlukan fasilitasi yang memungkinkan BUMDes mampu menyusun bussines plann
yang mampu menarik lembaga keuangan untuk mendukung permodalan dalam rangka
pengembangan usaha.
Berdasarkan
SKB LKM, selain bentuk hukum BPR, Koperasi atau BUMDes dapat diarahkan kepada
suatu lembaga keuangan lainnya. Bentuk hukum bagi LKM bukan bank dan bukan
koperasi dapat diarahkan kepada suatu bentuk hukum perkumpulan.
Perkumpulan
dalam hal ini memiliki pengertian luas, yang berarti meliputi suatu
persekutuan dan perkumpulan saling menanggung. Selanjutnya perkumpulan
dalam pengertian ini pun terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu berbentuk badan
hukum dan tidak berbentuk badan hukum.
Perkumpulan
dalam LKM ini akan diarahkan kepada perkumpulan yang berbentuk badan hukum.
Perkumpulan yang tidak berbadan hukum memiliki kelebihan, yaitu mudah dalam
proses pendiriannya. Namun, salah satu kelemahannya adalah sebagaimana
disebutkan dalam Staatsblad 1933-84 Pasal 11 point 8: ”perkumpulan yang
tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum tidak dapat
melakukan tindakan-tindakan perdata”, yang berarti, jika akan dibuat suatu
perjanjian antara pihak ketiga dengan perkumpulan yang dimaksud, haruslah
dilakukan oleh orang-orang yang bergabung dalam perkumpulan tersebut.
Perjanjian tersebut baru mengikat perkumpulan dimaksud, jika seluruh anggotanya
menandatangani perjanjian dimaksud atau seluruhnya memberikan kuasa kepada 1
(satu) orang anggotanya untuk membuat dan menandatangani perjanjian termaksud.
Perkumpulan yang berbadan hukum diatur dalam Pasal 1
Staatsblad 1870 No. 64 (berdasarkan Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870),
yaitu perkumpulan yang akta pendiriannya disahkan oleh pejabat yang ditunjuk
oleh Gubernur Jenderal (pada waktu itu Directeur van Justitie, sekarang Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia).
Anggaran
dasar Perkumpulan yang berbadan hukum belum memiliki ketentuan baku yang
mengatur. Namun, karena harus melalui proses pengesahan dari Menteri, maka
tentu saja harus melalui proses yang hampir mirip dengan pendirian yayasan. Bisa dikatakan serupa tapi tak sama, karena dari sisi prosesnya memang
hampir sama, juga untuk anggaran dasarnya harus mencantumkan ketentuan mengenai
jangka waktu, modal yang dipisahkan, maksud dan tujuan, organ Perkumpulan yang
terdiri dari pendiri, pembina, pengurus dan pengawas.
Perkumpulan
yang berbadan hukum memiliki kelebihan yaitu dapat melakukan perbuatan perdata,
sebagaimana halnya badan hukum lainnya dan dapat memiliki asset tetap (tanah
dan/atau bangunan). Sedangkan kelemahannya antara lain belum terdapat format
baku dan Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai tata cara pengesahan
(juklak) Perkumpulan, dan prosesnya masih manual, maka dalam prakteknya untuk
proses pengesahannya membutuhkan waktu yang lama. Jika sudah mendapatkan
pengesahan dari Menteri, maka perkumpulan yang berbadan hukum juga harus
diumumkan dalam Berita Negara RI. Sedangkan untuk kegiatannya, jika perkumpulan
bergerak di bidang sosial, harus didaftarkan ke Dinas Sosial.
Bentuk
hukum selanjutnya yaitu perusahaan daerah. Dengan adanya otonomi daerah telah
memberikan nuansa baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan sistem
otonomi, daerah memiliki keleluasaan mengatur dirinya sendiri. Tapi di sisi
lain, daerah juga dituntut lebih mandiri, termasuk membiayai seluruh
kegiatannya.[18]. Ciri
utama yang menunjukan kemampuan daerah otonom dalam menyelenggarakan otonomi
daerahnya adalah terletak pada keuangan daerah. Dengan demikian daerah otonom
harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan
sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan tersebut untuk penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya. Ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat harus
seminimal mungkin dikurangi sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi
bagian sumber keuangan utama yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan
pusat dan daerah sebagai prasyarat dasar dalam sistem pemerintahan negara[19].
Konsekuensi
dari penerapan otonomi daerah adalah daerah harus mampu memanfaatkan
hasil-hasil pembangunan agar dapat berfungsi sebagai daerah otonom yang mandiri
dan mampu menjadi partner Pemerintah Pusat dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyat, terutama dalam bidang keuangan berdasarkan pada asas demokrasi dan
kedaulatan rakyat, tanpa mengganggu stabilitas nasional dan keutuhan persatuan
dan kesatuan bangsa.[20]
Salah
satu bentuk kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang keuangan adalah
memanfaatkan potensi daerah dengan membentuk perusahaan daerah. Tujuan dari
Perusahaan Daerah tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan saja tetapi juga
mempunyai tujuan yang lebih luas yaitu kesejahteraan rakyat melalui
fungsi-fungsi sosial yaitu : pelayanan, pemberdayaan, pengembangan serta bantuan
manajemen usaha bagi masyarakat luas. Hukum positif yang mengatur perusahaan
daerah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Selanjutnya
dalam Pasal 2 Undang-Undang 37 Tahun 1969 menyebutkan bahwa ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai
dibentuknya undang-undang baru yang mengatur mengenai perusahaan daerah. Pada
kenyataannya sampai sekarang belum dibentuk undang-undang baru sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962. Kondisi ini menimbulkan
permasalahan legalitas bagi pengelolaan perusahaan daerah karena dasar hukum
yang sekarang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
perkembangan masyarakat.
Tujuan
dibentuknya perusahaan daerah tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan
daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggaraan kemanfaatan
umum dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah. Hal-hal yang diatur dalam
Undang-Undang ini diantaranya mengenai sifat, tujuan dan lapangan usaha
perusahaan daerah, pengawasan perusahaan daerah , dan kepemilikan perusahaan
daerah.
Berdasarkan
konsep di atas maka LKM bukan bank akan diarahkan kepada salah satu bentuk badan hukum Indonesia meliputi:
a.
perkumpulan;
b.
koperasi;
c.
perseroan
terbatas;
d.
perusahaan
daerah; atau
e.
badan
usaha milik desa.
Pembentukan masing-masing badan hukum
Indonesia harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. LKM yang
berbadan hukum perkumpulan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini. LKM yang
berbentuk badan hukum perkumpulan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang. Pembentukan LKM yang berbadan hukum perkumpulan dilakukan dengan akta
pendirian yang memuat anggaran dasar. Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya:
a.
daftar nama pendiri;
b.
susunan kepengurusan;
c.
nama dan tempat kedudukan;
d.
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
e.
ketentuan mengenai cakupan wilayah;
f.
ketentuan mengenai pengelolaan;
g.
ketentuan mengenai permodalan;
h.
ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya; dan
i.
ketentuan mengenai sanksi.
LKM yang
berbadan hukum perkumpulan memperoleh status badan hukum setelah akta
pendiriannya disahkan oleh bupati/walikota. LKM berkedudukan di kabupaten/kota
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pendirian
Pendirian
LKM harus memenuhi persyaratan yaitu berbadan
hukum Indonesia, memiliki modal awal paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dan
mendapatkan izin usaha dari bupati/walikota.
3.
Permodalan
Permodalan
LKM dapat berasal dari modal sendiri, simpanan, Pemerintah, pemerintah
kabupaten/kota, pemerintah desa/kelurahan, pinjaman, dan/atau penyertaan modal
pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.
4.
Kepemilikan
LKM hanya dapat dimiliki oleh
a.
warga
negara Indonesia.
b.
perkumpulan
yang didirikan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) warga negara Indonesia yang
mempunyai kepentingan bersama;
c.
badan
hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia,
d.
pemerintah
daerah kabupaten/kota; atau
e.
masyarakat
desa atau pemerintah desa/kelurahan.
Setiap orang hanya mendapatkan
kepemilikan mayoritas untuk 1 (satu) LKM baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ketentuan mengenai persyaratan yang wajib dipenuhi pihak‑pihak,
perubahan kepemilikan, dan perubahan modal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
5. Perizinan
Sebelum menjalankan kegiatan usahanya,
LKM harus memiliki izin usaha dari bupati/walikota sesuai dengan cakupan
wilayah. Untuk memperoleh izin usaha, LKM harus mengajukan permohonan kepada
bupati/walikota setelah memenuhi persyaratan:
a.
memiliki
akta pendirian bagi masing-masing badan hukum Indonesia;
b.
memiliki
modal disetor minimum yang bukan berasal dari pinjaman.
Bupati/walikota harus memberikan izin usaha
kepada LKM yang telah memenuhi persyaratan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila bupati/walikota tidak
menjawab permohonan izin usaha melebihi batas waktu, bupati/walikota dianggap
menyetujui permohonan dimaksud. Dalam hal permohonan izin usaha ditolak,
bupati/walikota harus memberikan jawaban tertulis yang memuat alasan-alasan
penolakan kepada pemohon. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
D. Kegiatan Usaha Dan Cakupan Wilayah Usaha
Kegiatan usaha LKM pada dasarnya meliputi kegiatan pemberian pinjaman
atau pembiayaan kepada perorangan, kelompok atau anggotanya yang menjalankan usaha mikro dan menerima simpanan. LKM dapat pula melakukan usaha jasa keuangan lainnya yang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini. kegiatan yang dilarang dilakukan
oleh LKM yakni:
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam
lalu lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
d. bertindak sebagai penjamin;
e. menempatkan dana dalam bentuk Simpanan pada LKM lain; dan
f. memberi pinjaman kepada
LKM lain
Dalam melaksanakan kegiatan
pinjaman dan pembiayaan, LKM wajib melakukan pendampingan yang tata cara
pendampingannya diatur dalam Peraturan Menteri. Adapun penentuan besarnya pinjaman atau pembiayaan ditentukan berdasarkan
kebutuhan dan skala usaha dari penerima dana. adanya pembatasan besarnya
pinjaman atau pembiayaan untuk menghindari LKM meminjam diluar kebutuhan dan
skala usahanya. kebutuhan dan skala usaha ini dengan mempertimbangan kondisi usaha
dari penerima dana dengan criteria antara lain usaha pemula atau perintis,
usaha pengembangan dan usaha yang mandiri. besaran nominal pembatasan pinjaman
dan pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri.
LKM dalam menjalankan kegiatan usahanya, dapat dilaksanakan
berdasarkan prinsip keuangan konvensional atau prinsip keuangan syariah. LKM hanya
dapat memilih salah satu prinsip tersebut. Hal ini berarti satu LKM tidak dapat
melakukan kegiatan usaha dengan dua prinsip sekaligus. Adapun LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip keuangan syariah wajib mematuhi
prinsip syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
LKM hanya dapat melakukan kegiatan usaha dalam cakupan wilayah usaha sesuai
dengan izin usahanya. Cakupan wilayah usaha suatu
LKM berada dalam satu wilayah kabupaten/kota. Sedangkan operasional usaha LKM
berada di desa/kelurahan dalam wilayah kabupaten/kota tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar kegiatan usaha LKM
dilakukan di akar rumput (grass root) di masyarakat. Adapun Ketentuan
mengenai standar minimum pengelolaan
usaha LKM yang antara
lain didasarkan pada skala usaha, total simpanan yang dihimpun dan total
pinjaman yang diberikan, diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan dalam
Peraturan Menteri ini menjadi dasar bagi pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk menetapkan
kebijakan sesuai kondisi masing-masing
daerah.
Terkait
dengan pemekaran dan penggabungan wilayah serta adanya LKM yang mengubah
wilayah usahanya, LKM harus menjamin kesesuaian
cakupan wilayah usaha selambat-lambatnya satu tahun sejak tanggal penetapan
pemekaran atau penggabungan. Sedangkan LKM yang mengubah cakupan wilayah
usahanya harus memberikan pemberitahuan kepada bupati/Walikota di wilayah yang
lama dan melaporkan kepada bupati/walikota di wilayah yang baru.
E. Penjaminan Simpanan dan Pinjaman
Dalam
rangka kepentingan nasabah, LKM dapat mengikuti program penjaminan yang diselenggarakan
oleh suatu lembaga penjamin simpanan; melakukan mekanisme penjaminan sendiri sesama LKM; atau
mekanisme lain yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai tata cara penjaminan simpanan
bagi LKM diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan untuk penjaminan atas
pinjaman atau pembiayaan yang diberikan, LKM dapat melakukan penjaminan terhadap
pinjaman atau pembiayaan yang diberikan kepada
suatu lembaga penjamin pinjaman atau pembiayaan misalnya Askrindo, Jamkrindo, LPKD, atau
Pegadaian. Dalam RUU ini juga diatur
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota berkewajiban memberikan
subsidi premi bagi LKM yang mengikuti suatu program atau mekanisme penjaminan
simpanan dan penjaminan pinjaman atau pembiayaan. Terkait dengan belum adanya
suatu lembaga atau wadah yang memberikan penjaminan simpanan bagi LKM,
pemerintah diupayakan melakukan suatu penjaminan baik dengan membentuk
lembaga penjamin, atau menunjuk
BUMN/BUMD untuk melakukan penjaminan simpanan.
F.
Kepengurusan Dan Pertukaran Informasi
Pengaturan mengenai kepengurusan dalam Lembaga Keuangan
Mikro disesuaikan dengan bentuk badan hukum yang dipilih untuk menjadi LKM,
dimana ketentuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Susunan kepengurusan dalam LKM sekurang-kurangnya
meliputi pengawas internal, ketua, sekretaris, dan bendahara.
Dalam kepengurusan LKM, pengurus LKM dapat melakukan
tukar menukar informasi antar LKM. Pengurus LKM dapat
memberitahukan informasi dan data mengenai penerima kepada LKM lain. Tujuan
dari pertukaran informasi ini untuk memajukan LKM.
Terkait dengan pemberian informasi, dalam hal penerima
telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah yang bersangkutan
berhak memperoleh keterangan mengenai setiap transaksi antara Nasabah dengan
LKM.
G. Penggabungan, Peleburan, Dan
Pembubaran
Dalam
rangka optimalisasi kinerja LKM, LKM dapat melakukan penggabungan atau
peleburan dengan satu atau lebih LKM lainnya dengan persetujuan bupati/walikota
yang memberikan ijin usaha. Penggabungan
dapat dilakukan dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
LKM dan membubarkan LKM lainnya. Sedangkan Peleburan dapat dilakukan dengan
cara mendirikan LKM baru dan membubarkan LKM lainnya. LKM hasil peleburan atau
penggabungan harus menyesuaikan cakupan wilayah usahanya dengan melakukan
perubahan anggaran dasar.
LKM
dapat dibubarkan karena beberapa hal, yaitu:
a. LKM yang dimaksud
membubarkan diri atas persetujuan para pendirinya;
b. bupati/walikota mencabut
izin usaha LKM;
c. instansi yang berwenang
menyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
d. tercapainya tujuan atau
berakhirnya jangka waktu kegiatan usaha sesuai dengan anggaran dasar.
Pihak yang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan
seluruh simpanan yang telah dihimpun dalam hal terjadi pembubaran, adalah:
a. pengurus dalam hal LKM berbadan hukum
perkumpulan;
b. seluruh pemegang saham pengendali dan direksi
atau pihak yang disamakan dengan itu dalam hal LKM berbadan hukum perseroan
terbatas, koperasi, perusahaan daerah, atau badan usaha milik desa.
H.
Pembinaan dan Kerjasama
Pengaturan mengenai
pembinaan dalam RUU tentang LKM menjadi wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjalankan
program yang berhubungan dengan kegiatan keuangan mikro mempunyai kewajiban
untuk mengoptimalkan fungsi LKM dengan memperhatikan segala aspek
keberlangsungan dan persaingan yang sehat LKM itu sendiri.
Pemerintah Daerah juga
diwajib menyediakan bantuan teknis dalam rangka pembinaan dan pengembangan LKM.
Bantuan teknis
tersebut meliputi antara lain tenaga
penyuluh, pendidikan dan pelatihan tentang keuangan mikro, penyediaan database LKM, dan lain-lain. LKM juga dapat melakukan
kerjasama antar LKM maupun dengan lembaga keuangan lain dalam rangka
meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan memperluas jangkauan pelayanan.
I. Pengawasan
Pengawasan LKM dilakukan oleh Bupati / Walikota. Bupati / Walikota mendelegasikan wewenang pengawasan
kepada pejabat yang diberi
tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan. Pengawasan terhadap LKM
dilakukan setiap saat atau secara berkala.
Untuk tertib pembukuan atau pencatatan LKM harus melakukan dan memelihara pencatatan/pembukuan atas segala
aktivitas kegiatan usahanya sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang
berlaku. Dalam
melakukan dan memelihara
pencatatan/pembukuan sebagaimana tersebut, Pengurus LKM dilarang:
a. Membuat pencatatan palsu dalam pembukuan transaksi
atau laporan dan atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
b. Menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang
benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening LKM;
c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus,
atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun
dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi.
Setiap LKM Desa/kelurahan dan
LKM Kecamatan harus menyampaikan laporan keuangan kepada Bupati/Walikota. melakukan pengawasan pada stratifikasi terkait sekurang-kurangnya
sekali dalam kurun waktu enam bulan.
Dalam rangka menerapkan
prinsip keterbukaan, LKM harus mengumumkan Laporan Keuangannya kepada masyarakat. Menteri menetapkan standar minimum tatacara pengawasan, bentuk
laporan, mekanisme penyampaian laporan serta mekanisme pengumuman Laporan
Keuangan yang menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk merumuskan ketentuan
lebih rinci sesuai kondisi masing-masing daerah.
J. Sanksi
Administratif
Sebagai instrumen penting dalam penegakan suatu aturan maka
pemberian sanksi perlu diatur dalam RUU. Dalam RUU tentang LKM, sanksi dapat
diberikan baik terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh LKM sebagai badan hukum (recht person) maupun oleh orang
perorangan sebagai subyek hukum. Terhadap LKM dapat dikenakan sanksi administratif yang
dapat berupa: teguran,
peringatan tertulis,
pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan kegiatan usaha, pencabutan
ijin dan/atau denda administratif, yang akan dikenakan sesuai
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan akan diatur lebih lanjut mengenai
tata laksana dan penerapan sanksi administratif tersebut dalam Peraturan Pemerintah.
Diantara perbuatan hukum
yang dapat dikenai sanksi administratif
tersebut adalah mencakup :
a.
Kepemilikan LKM
yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia, perkumpulan yang didirikan
sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) warga negara
Indonesia yang mempunyai kepentingan bersama,
badan
hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, pemerintah daerah
kabupaten/kota, atau masyarakat desa atau
pemerintah desa/kelurahan.
b.
LKM yang tidak
melakukan kegiatan usaha pemberian pinjaman
atau pembiayaan kepada perorangan, kelompok, atau anggotanya
yang menjalankan usaha mikro, menerima
simpanan, dan melakukan usaha jasa keuangan
lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang.
c.
LKM yang tidak melakukan
pendampingan kepada perorangan, kelompok, atau anggotanya
yang menjalankan usaha mikro.
d. LKM yang
menjalankan 2 (dua) prinsip keuangan sekaligus yaitu prinsip keuangan
konvensional dan prinsip keuangan syariah.
e. LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip keuangan syariah yang tidak mematuhi
prinsip syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
f. LKM yang melanggar larangan:
1) menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam
lalu lintas pembayaran;
2) melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
3) melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
4) bertindak sebagai penjamin;
5) menempatkan dana dalam bentuk Simpanan pada LKM
lain;
6) memberi pinjaman kepada
LKM lain.
g. LKM yang melakukan kegiatan usaha dalam
cakupan wilayah usaha tidak sesuai dengan izin usahanya.
h. LKM yang mengubah cakupan wilayah usahanya tidak memberikan pemberitahuan kepada bupati/walikota di
wilayah yang lama dan melaporkan kepada bupati/walikota di wilayah yang baru.
i. LKM yang tidak melakukan
dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan perusahaan sesuai dengan
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
j.
LKM yang
tidak menyampaikan laporan keuangan kepada bupati/walikota
sekurang-kurangnya sekali
dalam 1 (satu )
tahun.
k. LKM yang tidak mengumumkan
laporan keuangannya kepada masyarakat.
K. Ketentuan Pidana
Kepada orang perorangan sebagai subyek hukum
dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau kurungan dan/atau denda
apabila kedapatan melakukan pelanggaran dalam hal diantaranya:
a. Setiap orang yang melanggar ketentuan hanya 1 orang mendapatkan
kepemilikan mayoritas untuk 1 (satu) LKM baik secara langsung maupun tidak
langsung yaitu ancaman
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000,00(sepuluh juta rupiah).
b. Setiap orang yang menjalankan usaha LKM tanpa izin
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c. Setiap orang yang tidak bertanggung jawab mengembalikan
seluruh dana simpanan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
d. Setiap pengurus dan/atau pegawai LKM yang melanggar ketentuan antara lain berupa:
1) membuat
pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung
dengan dokumen yang sah;
2) menghilangkan
atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha,
laporan keuangan, atau rekening LKM; dan
3)
mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan
keuangan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha.
dengan ancaman pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.00,00.(lima puluh
juta rupiah)
L. Ketentuan Peralihan
Dalam ketentuan peralihan ini diatur mengenai penyesuaian-penyesuaian status
dan perbutatan hokum dari pelaku-pelaku LKM yang selama ini telah dan masih
menjalankan aktivitasnya untuk memberi kesempatan bagi langkah-langkah
persiapan dan penataan kembali sesuai dengan RUU ini, dengan ketentuan “setiap orang yang melakukan kegiatan usaha sebagai
LKM yang tidak berbentuk bank dan belum memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang
ini dapat tetap beroperasi dengan ketentuan wajib menyesuaikan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
Undang-Undang ini mulai berlaku”.
M. Ketentuan
Penutup
Ketentuan ini memuat
mengenai status peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan saat mulai
berlakunya peraturan perundang-undangan beserta alternatifnya.
Disamping
itu juga mengatur mengenai jangka waktu pembentukan peraturan pelaksana seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah untuk menjalankan
Undang-Undang mengenai Lembaga Keuangan
Mikro, sehingga pada akhirnya dapat berguna untuk memperlancar
pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
BAB VI
PENUTUP
Dengan
dibentuknya Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro
akan melengkapi kerangka hukum yang mengatur mengenai lembaga keuangan di
Indonesia. Undang-Undang ini dapat
menjadi landasan untuk mewujudkan sistem keuangan mikro yang menjamin
berkembangnya usaha skala mikro
yang sustainable, dapat mensejahterakan rakyat, bermanfaat
dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Undang-Undang ini
juga akan meningkatkan pengawasan yang efektif terhadap Lembaga Keuangan Mikro sehingga
dapat melindungi kepentingan penyimpan dan
penerima pinjaman/pembiayaan.
Jakarta, Oktober 2010
DAFTAR PUSTAKA
Baasir,
Faisal (2003), Optimalisasi Regulasi Kerangka Kerja Bagi Keuangan Mikro. Gema
PKM.
BI and GTZ
ProFI (2000), Legislation, Regulation, and Supervision of Micro Institutions in
Indonesia.
CGAP. Guiding
Principles On Regulation and Supervision of Microfinance. CGAP.
Fatwa, A.M., Otonomi
Daerah dan Demokratisasi Bangsa,(Jakarta: Yarsif Watampone, 2003).
Helms, Brigit
(2006). Access for All: Building Inclusive Financial Systems, CGAP.
Holloh, Detlev
and Prins, Hendriks. Regulation, Supervision & Support of Non-Bank, Non Cooperative Micro-Finance Institution.
ProfI-GTZ.
Holloh,
Deltev. Microfinance Institution Study, Bank Indonesia, GTZ, dan
Departemen Keuangan.
Ismawan,
Bambang (2003), Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Gema PKM.
Ismawan,
Bambang dan Setyo Budiantoro, Keuangan
Mikro Sebuah Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, (Jakarta: Gema PKM Indonesia,
2005).
JBIC (2003). JBIC & Microfinance:
An Innovatie Financing Instrument to Support
Sustainability in the Industry and
Greater Outreach to Poor & Low-Income Families. JBIC.
Ledgerwood,
Joana (1999), Microfinance Handbook. The World Bank – Washington.
Martowijoyo,
Sumantoro (2002), Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat
terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Jurnal Ekonomi Kerakyatan.
Nasution,
Darmin (2003), Pointers Mengenai Kerangka Pengaturan Bagi Keuangan Mikro.
Gema PKM.
Profi-GTZ
(2005). Background Paper on Microfinance Policy and Strategy. ProFIGTZ.
Republika,
ed. 1 Maret 2006, 6 April 2006.
Rudjito
(2003), Peranan Lemabaga Keuangan Mikro Dalam Menggerakan Ekonomi Rakyat
dan Menanggulangi Kemiskinan. Gema PKM.
Rudjito,
Peran lembaga keuangan mikro dalam otonomi daerah guna menggerakkan ekonomi
rakyat dan menanggulangi kemiskinan studi kasus: Bank Rakyat Indonesia, dalam http://www.indonesiaindonesia.com/f/8667-peran-lembaga-keuangan-mikro/,
diakses tanggal 30 Agustus 2010.
Staschen,
Stefan (1999), Regulation and Supervision of Microfinance Institutions:
State of Knowledge. GTZ.
[1]Lihat Rudjito, Peran
lembaga keuangan mikro dalam otonomi daerah guna menggerakkan ekonomi rakyat
dan menanggulangi kemiskinan studi kasus: Bank Rakyat Indonesia, dalam http://www.indonesiaindonesia.com/f/8667-peran-lembaga-keuangan-mikro/,
diakses tanggal 30 Agustus 2010.
[2] Ibid.
[3]http://bayu96ekonomos.wordpress.com/2008/05/06/rasionalisme-empirisme-dalam-pendekatan-keilmuan/, diakses pada tanggal 17 September 2010.
[4] Lihat Empirical,
dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Empirical,
diakses tanggal 17 September 2010.
[5] Sumber : GTZ ProF1,
2005.
[6] Sumber : Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK, 2005)
[7] Sumantoro Martowijoyo (2002)
[8] Berdasarkan PBI Nomor
6/22/PBI/2004, modal disetor BPR: a) untuk wilayah Jakarta sebesar Rp. 5
miliar; b)
untuk ibukota propinsi
di Jawa dan Bali, serta Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi sebesar Rp. 2
miliar; c)
untuk ibukota propinsi
diluar Jawa dan Bali, serta di wilayah Jawa dan Bali selain yang disebut pada
point b,
sebesar Rp. 1 miliar;
dan d) untuk wilayah diluar daerah tersebut pada a, b, dan c sebesar Rp. 500
juta.
[9] Republika, 1 Maret 2006 dan 6 April 2006
[10] Bambang Ismawan dan
Setyo Budiantoro, Keuangan Mikro Sebuah
Revolusi Tersembunyi Dari Bawah, (Jakarta: Gema PKM Indonesia, 2005), hal.
23.
[11] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit.,
hal. 103.
[12] Ibid,
hal. 104.
[13] Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Pemerintah Kota
Malang dan Kota Semarang, Dalam Rangka Penyusunan Kajian Pembentukan RUU
Lembaga Keuangan Mikro, 8-12 Maret 2010.
[14] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit.,
hal. 24-29.
[15] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit.,
hal. 104.
[16] Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, op.cit.,
hal. 107.
[17] Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Pemerintah Kota
Madang dan Kota Semarang, Dalam Rangka
Penyusunan Kajian Pembentukan RUU Lembaga Keuangan Mikro, 8-12 Maret 2010.
[18] Ada beberapa cara yang sering ditempuh Pemda untuk memperbesar pundi-pundi
keuangannya. Pertama, berusaha menarik investor untuk menanamkan investasinya,
Kedua, menyusun Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar legitimasi untuk menarik
berbagai iuran sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat. Terakhir,
membenahi dan membentuk perusahaan daerah yang sering dikenal dengan BUMD.
[19] A.M. Fatwa, Otonomi Daerah dan
Demokratisasi Bangsa,(Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hal.4.
[20] Ibid.
Silahkan Tulis Komentar Anda ...